"Tumben lo ngegabut aja nggak keluar, Ga?" tanya Kei seraya menelan makanan di mulut. Keningnya berkerut, tampak mulai sadar bahwa beberapa akhir pekan ini aku lebih banyak menghabiskan waktu di apartemen. "Pacar lo ke mana? Kok nggak pernah mampir ke sini lagi?" tambahnya lagi. Gunungan nasi goreng di piringnya masih mengepulkan uap panas.
Aku mengikuti Kei yang membawa sarapannya ke depan televisi, mengempaskan tubuhnya yang segar sehabis mandi di sisi sofa bed yang lain, lalu mulai bersila sambil menikmati isi piringnya. Pagi ini Kei memasak nasi goreng dengan bumbu instan yang dibawanya dari Indonesia, berjaga-jaga jika sewaktu-waktu kami kangen pengen makan menu Indonesia. Berbotol-botol bumbu siap masak made in Binar memenuhi kulkas sekembalinya Kei dari Jogja beberapa minggu lalu. Oleh-oleh lain yang dibawa malah sudah ludes duluan, termasuk Chitato rasa sapi panggang pesananku.
"Yang mana?"
Kei menghentikan kunyahan. "Yang mana?" Alisnya makin bertaut, "Ya si bule mungil itu, lah! Emang ada yang lain lagi?"
"Oh, Tessa?" aku pura-pura memastikan. Napas panjang kuhela pelan-pelan karena yakin kali ini Kei akan memperpanjang pertanyaannya.
"Iya, Tessa. Bule rasa Jepang." Mimik wajahnya terlihat jelas ingin meledekku. "Masih sama dia kan, Ga? Atau udah ganti lagi?"
Aku balas menatap Kei dengan senyum kecut. Semoga Kei tidak membahas topik ini karena aku yakin dia akan terus mengejar dengan pertanyaan yang lain, "Udahan. Bubar."
Kei menggeleng sambil mendesis kepedasan. "Etdah! Mo nyari yang kayak apa lagi sih, Ga? Waktu ngenalin ke gue dulu, gue pikir dia bakal jadi perempuan terakhir yang lo pacari. Postur udah seperti yang lo idamkan. Wajah jelas kece. Dan sepertinya dia bukan perempuan aneh-aneh. Lo tinggal bet bet dikit, trus kawin, dah!"
"Kawin?! Lo pikir kucing?" aku melempar cuilan tulang ayam yang barusan kulepeh ke arah Kei. "Nikah, woy!"
"Kacrut!" Kei tak sempat mengelak. Ia mengambil serpih tulang di rambutnya sambil meringis kesal. "Jorok lu, Ga! Bau jigong dilempar ke gue lagi!"
"Bodo!" Aku terbahak mendengarnya menyumpah-nyumpah.
Aku melanjutkan makan dengan tenang karena Kei sibuk mengomel sambil membersihkan rambutnya. Topik yang sempat dilemparkannya tadi langsung terlupakan begitu saja sampai nasi dan ayam goreng di piringku licin tandas tak bersisa.
Aku segera beranjak ke ruang cuci untuk membersihkan peralatan bekas memasak yang kotor. Sambil mencuci piring, aku bersiul pelan mengikuti irama musik yang keluar dari pelantang ipod-dock di rak dekat televisi. Sesuai dengan perjanjian kami, siapa yang tidak menyiapkan makanan maka kebagian tugas membersihkan dapur. Fair enough.
Pintu balkon apartemen terbuka separuh sehingga udara sejuk menjelang musim gugur masuk. Sengaja kubuka agar apartemen sempit berkamar dua di daerah Ueno yang kutempati bersama Kei berganti hawa. Sebelumnya aku tinggal di apartemen satu kamar di dekat kantorku. Tahun lalu saat Kei bilang pindah tugas sementara ke Tokyo, aku segera mencari apartemen dua kamar. Dengan biaya sewa sharing berdua jatuhnya lebih murah, meski dari segi jarak agak sedikit jauh dibandingkan dengan apartemenku sebelumnya. Toh aku jarang ngantor di Tokyo jika sedang ada proyek di luar kota, jadi lebih jauh sedikit dari kantorku juga tidak masalah.
Kei masih sibuk menghabiskan sarapan ketika ponselnya berdering. Nada suaranya setengah berteriak saat memintaku menurunkan volume yang menggaung lembut memenuhi area ruang duduk. "Ga ... Ga! Tolong kecilin suaranya, dong! Ada telepon bentar!"
Sambil meraih tisu, aku menuruti permintaan Kei lalu beranjak masuk ke kamar untuk mengambil ponsel. Belum juga melewati ambang pintu, sapaan Kei pada si penelepon menyurutkan langkahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)
RomanceNagata memilih pergi sambil meniupi egonya yang terluka. Meski tak mudah, setidaknya jauh membuat Nagata semakin memahami jika ia tak boleh menyerah pada garis hidup. Nagata berusaha mencari cinta lain. Yang sama sekali berbeda dari cinta milik Lin...