"Pengantin wanitanya cantik, ya, Bang?" Mami memuji Binar. Matanya lekat tertuju ke arah meja putih berhias cantik tempat pengantin pria dan wanita beserta ayah Binar, dua saksi, dan penghulu sedang menandatangani dokumen pernikahan. Ucapan sekali tarikan napas Kei saat mengucap ijab qobul sebelumnya disambut dengungan syukur para tamu undangan yang hadir. Keheningan ballroom hotel yang penuh hiasan bunga asli dan ornamen dedaunan seketika bergemuruh. Gending Jawa terdengar mengalun pelan mengiringi pembawa acara yang mulai cuap-cuap kembali.
Mataku yang sejak tadi serius mengamati pusat ruangan beralih menatap Mami di sampingku. "Iya."
Aku sudah bertemu Mami dan Papi saat sarapan singkat pagi tadi di resto lantai dasar hotel. Saat Mami memelukku erat, aku langsung merasa bersalah telah jarang pulang menengok mereka. Matanya yang berbingkai riasan tebal terlihat berkaca-kaca. Sedangkan Papi hanya menepuk-nepuk bahuku saat aku menyalami lalu memeluk tubuh gagahnya sekilas. Mereka memang tidak mengucapkan banyak kata, tapi aku merasakan besarnya kerinduan mereka kepadaku. Setelah berbincang sebentar, kami-termasuk Khawla-pindah ke ballroom tempat prosesi akad nikah berlangsung.
"Kalau kayak gini Mami jadi pengen punya mantu," ujar Mami tiba-tiba sambil menyusut air matanya dengan tisu. Khawla yang duduk di sebelahku mengikik pelan. Aku seketika meringis masam. Tidak mungkin Khawla yang dimaksud Mami, pasti akulah yang disindirnya barusan.
"Giliran Abang kapan, ya?" ucapan Mami langsung disahuti Papi yang duduk di sebelah Mami.
"Ya nanti ada waktunya, Mi. Abang kan masih pengen fokus cari uang," bela Papi. Sebagai anak laki-laki, Papi sudah menjadi idolaku sejak kecil. Beliau tidak pernah memaksakan kehendak, tapi lebih sering mengarahkan dan mendukung jalan yang aku ambil. Meski jarang pulang, aku sering berkomunikasi via telepon dengan Papi. Kalau dengan Mami tidak usah ditanya, sehari bisa dua kali Mami menanyakan kegiatanku.
"Ya, nggak gitu, Pi," Mami menyanggah. Dalam hitungan detik mereka segera terlibat perdebatan kecil. Khawla hanya bisa menatapku simpati. Kami berdua tahu, jika Mami punya keinginan, hanya Papi yang mampu menghadapinya dengan sabar.
Aku seketika merasa gerah dengan pokok bahasan yang jelas sedang ingin aku hindari. Sejak keluar dari kamar tadi aku sudah bersiap menghadapi perangku sendiri. Tapi sampai sekarang, secuil pun aku belum menangkap gambaran gadis mungil berambut sebahu yang diam-diam kurindukan tanpa bisa aku miliki itu.
"Abang mau ke toilet dulu, Mi," aku berdiri untuk menengahi perdebatan kecil mereka. Rasanya ingin aku sedikit terlepas dari topik yang semakin lama semakin menjemukan itu. Bukannya tidak ingin menikah, namun siapa yang akan kuajak menikah saja masih belum jelas wujudnya.
Mami dan Papi hanya menatapku sekilas lalu kembali berbincang. Aku mengangkat bahu lalu beranjak mencari toilet, meninggalkan kerumunan tamu undangan yang bersiap antre untuk mengucapkan selamat kepada pasangan pengantin yang sedang berbahagia.
Aku mengambil jalan menuju pintu kecil di sisi luar ballroom. Lorong berlantai karpet tebal itu tampak sepi. Aku menyelesaikan hajatku sebentar, lalu mencuci tangan di wastafel marmer bewarna gelap. Melalui pantulan dalam cermin besar yang membingkai dinding, aku melihat refleksi wajahku sendiri. Pria muda berjas abu-abu gelap di depanku sebenarnya bisa dibilang good looking, tapi mengapa tidak seorang wanita pun mampu bersanding dengannya? Apakah ada yang salah pada diriku?
Aku meninggalkan toilet yang sepi dengan langkah gontai. Saat di lorong berpenerangan redup yang memisahkan toilet pria dengan toilet wanita, tidak sengaja aku menyenggol bahu gadis mungil berhijab dan berkebaya marun. Aku kaget saat tiba-tiba ia muncul dari kelokan di depanku. Sepertinya ia sedang terburu-buru menuju toilet wanita. Wajahnya menunduk mengamati lembaran kertas di tangan. Untaian kabel pelantang yang tersambung pada handy talkie di pinggangnya menjuntai naik ke sisi pipi lalu menghilang di area telinga yang tertutup kain hijab.
"Maaf!" sahutku cepat.
Gadis itu memekik kaget, "Eh!"
Wajahnya terangkat, seolah bersiap memprotesku yang tidak sengaja menyenggolnya. Seketika tubuhku bagai tersengat listrik. Gadis yang selama ini rajin menghantui meski aku sudah minggat sampai ke Tokyo itu berdiri terpaku di hadapan. Wajahnya tercengang kaget. Mulutnya terbuka, urung mengeluarkan kata-kata. Kertas yang dipegang seketika meluncur jatuh bersama dengan pulpen di tangannya.
"Aga?"
"Linkan?"
_________________________________
Akhirnya ketemu juga ... haaaah, jadi lega. Wekekeke ....
Trus ngapain kalau dah ketemu? Balikan? Atau temu kangen kek anak SMA reunian? Hohoho ... tak semudah itu Fergusoooo ....
Makasih banyak buat yang masih setya nungguin Bang Aga. Udah pemanasan 5 bab, nih. Ditunggu selalu vote dan komennya, gurls.
Update inshaaAllah seminggu dua kali, Selasa dan Sabtu. Kalau pas nggak bisa update ntar kuinfo yaaa ....
Salam weekend,
A
21.09.2019
________________________________
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)
RomantizmNagata memilih pergi sambil meniupi egonya yang terluka. Meski tak mudah, setidaknya jauh membuat Nagata semakin memahami jika ia tak boleh menyerah pada garis hidup. Nagata berusaha mencari cinta lain. Yang sama sekali berbeda dari cinta milik Lin...