"Aku tidur di kamar Kei. Nggak usah ragu sewaktu-waktu kamu perlu bantuan, tinggal panggil saja." Daguku menunjuk ke ruangan di sebelah kamar sambil terus bergerak sigap mengganti sprei dan bed cover lalu menumpuk bantal-bantal agar lebih tinggi. "Kamu musti banyak-banyak tidur. Makan yang banyak juga, dan jangan lupa minum obat. Kuajak ke sini biar gampang ngerawat kamu, biar cepet sembuh dan bisa cepet balik ke Jakarta seperti pesan Om Ghani. Jadi ... jangan sekali-kali kepikiran buat jalan-jalan di sini, Bu Linkan Nirmala!" Aku tidak peduli jika kalimat terakhirku terdengar sedikit bernada ancaman. Jelas hal itu kulakukan karena tidak ingin Linkan ambruk lagi. Kejadian kemarin membuatku bersikap semakin protektif kepadanya.
Sore tadi Om Ghani dan rekannya sudah bertolak ke Jakarta sesuai jadwal, sedangkan-atas kesepakatan bersama-Linkan ikut bersamaku kembali ke Tokyo agar mudah menjaganya selama proses recovery. Selain karena tidak bisa menambah cuti melebihi rencana semula, terlebih tidak mungkin tega meninggalkan Linkan. Toh, tiket balik Linkan bisa dijadwal ulang, dan masa kunjungan visanya juga masih berlaku sampai minggu ke depan. Lebih baik dia bersamaku di Tokyo daripada sendirian di Osaka. Meski bakal sendirian juga saat aku berangkat ke kantor besok, tapi setidaknya kalau terjadi hal mendesak aku bisa dengan mudah pulang ke apartemen. Apalagi ada Kei juga yang bisa dimintai bantuan dengan cepat.
"Hmm ...." Yang kuajak bicara menjawab singkat dengan deheman sebal. Tubuh mungilnya duduk diam di kursi kerja kamarku. Bibir tipisnya ditekuk rapat. Kuperhatikan sepasang mata yang sejak memasuki ruangan ini terus berkeliling menjelajah seisi kamar, kembali fokus memperhatikanku menata tempat yang akan dipakainya beristirahat. Koper jumbo berwarna abu bertumpuk dengan tote bag merah Linkan ikut teronggok diam di sudut kamar. Coat dan syal-nya tersampir rapi di sandaran kursi yang diduduki. Perjalanan dari Osaka menuju Tokyo sore tadi membuatku khawatir kalau Linkan akan kecapekan lagi. Namun gadis itu berkali-kali meyakinkanku kalau dia sudah berangsur pulih.
"Kayaknya jalan-jalan bentar di Tokyo asyik, nih!" Tokaido-Sanyo Shinkansen baru lima menit meninggalkan Osaka ketika gadis yang duduk di sampingku tiba-tiba menyelutuk.
"Hah?"
Kepala Linkan yang tadinya sibuk memandangi pemandangan Osaka dari jendela kereta lalu menoleh menatapku. Senyumnya menguar lebar. "Aku udah baikan, Ga. Napasku beneran udah longgar banget. Nggak berasa apa-apa sama sekali. Obat dokter di Jepang bener-bener manjur buatku. Lagian nggak besok juga jalan-jalannya."
"Nggak!"
Bibir tipis itu otomatis mengerucut ketika aku serta-merta menolak ide absurdnya. Sisi Linkan yang gampang tersulut emosi seperti dulu nampaknya sudah kembali. "Lusa, ya? Pasti lusa aku sudah sembuh seratus persen."
"Nggak!"
"Ga ...."
"Pokoknya eng-gak!"
"Ya udah, aku minta anterin Mas Kei aja!"
Mataku langsung melotot garang. Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Sinting kali gadis ini! Udah lupa apa dia kemarin bernapas aja susah. Setiap mengingat bunyi napasnya kemarin, leherku terasa ikut tercekik. "Kamu ngajak berantem?"
Kepala Linkan menggeleng polos tanpa dosa. Hijab gading di kepala mungil itu nampak serasi dengan sweater nuansa cokelat bercorak tartan khas sebuah merek terkenal. Mata beningnya balas menatapku berani. Roman wajah Linkan terlihat menuntut, persis Khawla saat sedang merajuk. Aku meringis miris. Aura profesional dan tegas sebagai Personel Assistant CEO perusahaan besar di Jakarta itu ikut menguap pergi bersama dengan serangan asmanya.
"Bukan begitu," rengek Linkan menjelaskan penuh harap. Nada suaranya masih terdengar ngotot. "Rugi banget udah sampai Tokyo trus nggak kemana-mana. Apa kata dunia nanti?"
"NO!"
"Rumah Tomohisa Yamashita ada di Tokyo, Ga," debat Linkan tak berhenti memberi alasan. "Masa' aku nggak tahu sama sekali tentang kota tempat tinggalnya?"
Astaga!
Alasan macam apa lagi eta, neng geulis? Akang Tomo deui!
"I don't care, Kan!" Nadaku masih tegas tapi dengan volume suara kupelankan agar tidak mengganggu penumpang lain. "Kesehatan kamu yang utama. Pe ri od!"
Perdebatan tanpa titik temu selama tiga jam perjalanan tadi tampaknya masih membuat Linkan dongkol. Wajah yang makin segar itu masih saja tidak bertabur senyum kepadaku saat memasuki apartemen tanpa penghuni ini karena Kei lembur sampai malam. Meskipun saat meninggalkan stasiun, sesekali terlihat Linkan tersenyum sendiri mengagumi pemandangan di luar jendela taksi. Siapa yang tidak terpukau melihat pemandangan indah kerlip kota Tokyo di malam hari. Apalagi saat kami memandang dari kejauhan Tokyo Sky Tree yang bermandikan cahaya warna-warni di malam hari. Da best.
"Please, Ga!" pinta Linkan. Kali ini wajahnya dipasang mode memelas karena ternyata ia menyadari jika mode keras kepala tidak berhasil. Sepasang mata itu membulat sempurna sambil menatapku tanpa kedip. Seakan dengan begitu aku akan mengiyakan keinginannya untuk sedikit menjelajah sudut kota Tokyo. Persetan! Kali ini puppy eyes Linkan nggak akan mempan untukku. Aku lebih suka disewotin daripada harus menggotongnya ke rumah sakit lagi.
Tidak!
Membayangkannya saja membuat bulu kudukku seketika berdiri. Hih!
"Kamu istirahat sebentar." Tanganku menepuk-nepuk kasur beraroma harum pelembut kain, memberi isyarat kepada Linkan untuk berbaring sejenak. Meski terlihat tenang, tapi dalam hati aku ingin melonjak-lonjak gembira saking senangnya. Siapa sangka ternyata gadis yang selama ini merajai mimpi-mimpiku itu akan menghabiskan waktu beberapa hari di sini, di kamar ini. DI KASUR INI. "Kalau udah berkurang lelahmu, kita makan. Habis itu minum obat." Nada suaraku tegas tapi penuh rasa sayang. Perdebatan kami bukan karena aku marah kepada Linkan, tapi lebih karena aku sangat-sangat peduli padanya dan tidak ingin hal buruk kembali terjadi.
Linkan mengangkat bahu tidak merespons.
"Mau makan apa? Makanan Indonesia apa Jepang?" Aku mencoba mengalihkan pembicaraan ke topik baru. "Oh, iya. Kamu pasti suka unatoto. Belut kan proteinnya tinggi tuh, cocok buat mengembalikan kekuatan tubuh yang lemah. Tadi aku udah nitip Kei biar beliin sepulang kantor."
"Kita udah makan ramen di Osaka tadi, Ga," sergah Linkan cepat. Bibir yang sedari tadi ditekuk rapat langsung mengingatkan. Buru-buru ia menambahkan sebelum aku sempat membalas. "Aku juga masih kenyang. Udah nggak lemes lagi. Sedikit menikmati kota Tokyo akan membantuku pulih sepenuhnya. Jadi lusa udah boleh jalan kan, Ga? Yang deket aja, nggak usah jauh-jauh. Tokyo Sky Tree juga boleh. Tadi keliatan tuh, berarti nggak jauh, kan?"
Belum sempat membalas Linkan, terdengar suara berisik bersama sosok familiar muncul dari pintu kamar yang terbuka lebar.
"Eh, suami istri lagi sayang-sayangan. Sampe gue teriak salam kagak ada yang denger."
Kunyuuuk!
___________________♡_________________
Hai hai.. two chapter in a row ya..
Happy Sunday♡
30.06.2024-A-
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)
RomanceNagata memilih pergi sambil meniupi egonya yang terluka. Meski tak mudah, setidaknya jauh membuat Nagata semakin memahami jika ia tak boleh menyerah pada garis hidup. Nagata berusaha mencari cinta lain. Yang sama sekali berbeda dari cinta milik Lin...