4. December at Jogja

202 28 7
                                    

"Aaaaaaaa!!!"

"Abaaaaang!"

Aku dan Khawla teriak berbarengan. Sedetik kemudian pegangan koper kulepas tepat ketika Khawla menghambur ke pelukan. Aku tak menyangka bakal bertemu dia di depan elevator seperti ini. Kupikir dia sudah tidur di kamarnya karena pesan instanku tidak dibalas. Om Ghani memang menyediakan kamar untuk kami sekeluarga juga kerabatnya yang lain di hotel ini.

"Kangeeeen!!" serunya. Tangannya memelukku erat. Aku balas memeluk Khawla dengan satu tangan karena tanganku satunya menahan tombol agar pintu elevator tidak menutup.

"Abang juga kangen." Daguku menempel erat di pucuk kepalanya. Salah satu sebab aku lebih tertarik kepada gadis mungil adalah karena perawakan Khawla dan Mami tidak terlalu tinggi. Aku menganggap meski begitu, mereka tetap menarik dan lebih patut diberi perlindungan.

"Apa kabar skripsi lo?" tambahku lagi sebelum Khawla sempat bertanya.

"Hmmm ...." Khawla hanya bergumam. Ia akhirnya melepaskan pelukan lalu membantu membawa koperku keluar elevator. "Skripsi gue ya begitu. Makan hati," tawa kecil Khawla terdengar masam. "Eh, Bang. Hari ini sampe besok dilarang nanyain progres skripsi gue. Haram!" tambahnya tegas. Mulutnya seketika mengerucut cemberut.

Aku tertawa maklum melihat ekspresinya. Memang kuliah di semester akhir seperti Khawla, pertanyaan itu jadi sedikit sensitif. Aku segera mengubah subjek pembicaraan. "Mami dan Papi di mana?"

"Ada di kamar. Udah tidur. Keknya Papi dan Mami kecapekan. Baru nyampe sore tadi berdua doang. Malamnya langsung makan bareng Om Ghani dan keluarga lain di resto bawah. Eh, Abang baru sampe banget? Kok nggak kasih kabar kalau udah landing?" Khawla seperti tersadar. "Capek ya, Bang?"

"Capek banget sih enggak. Kan Abang sering traveling." Aku berjalan bersisian dengan Khawla di lorong berkarpet tebal itu sambil memperhatikan nomor di setiap pintu kamar. "Abang udah kirim pesan pas mendarat di Jogja. Tapi nggak lo balas."

Khawla mencebik. "Oh. Ponsel gue ada di tas. Tasnya ada di kamar Binar. Gue sementara ini sekamar ama dia. Dari tadi gue ngobrol sama Mami, ini gue baru mau balik lagi ke kamar."

"Pantes Mami gue kirimin pesan juga nggak jawab. Ternyata lagi ngobrol berdua."

Khawla tertawa. Tangannya memeluk lenganku erat. Aku tersenyum melihatnya masih saja bersikap manja. Bukan karena jarang bertemu, tapi dari dulu Khawla memang seperti ini. Manja sekaligus bawel.

"Oleh-oleh buat gue mana?"

Aku menatap pucuk kepala Khawla dengan cepat. Astaga! Aku lupa membawa oleh-oleh spesial yang sudah kusiapkan untuknya.

"Sejak kapan lo minta dibawain oleh-oleh?" aku mencoba mengelak menutupi rasa bersalah.

Khawla mengikik pelan. Aku tahu meski bawel dia bukan tipe gadis yang rewel minta dibawain oleh-oleh setiap kali aku atau Papi pulang dari bepergian. Papi dan Mami sejak kecil mengajarkan kami untuk tidak meminta apa pun kepada orang lain, termasuk meminta oleh-oleh dari orang yang baru pulang bepergian.

"Kalau bisa kita yang memberi, bukan meminta. Kalau bisa kita membantu, jangan merepotkan," selalu begitu Mami dan Papi memberikan nasihat. "Kasihan orang kalau setiap kali pulang dari bepergian selalu ditagih oleh-oleh. Mungkin nggak cuma satu, tapi banyak orang terdekatnya yang minta dibawain oleh-oleh. Itu bisa membebani orang tersebut. Bukannya senang nanti malah mereka tidak nyaman dan terpaksa." Dan itu yang selalu kami ingat-ingat hingga kini.

"Hehe, becanda, Bang," cengir Khawla malu.

Aku mengacak rambutnya dengan sayang. Tanpa diminta sebenarnya aku sudah menyiapkan kejutan yang rencananya kuberikan kepada Khawla saat pulang ke Indo. Kubeli beberapa bulan lalu sewaktu mengantar Kei mencari perhiasan untuk Binar. Karena kusimpan di lemari bagian bawah ditimpa tumpukan baju, jadi malah lupa nggak kubawa.

Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang