13. Tak Berkutik

197 31 7
                                    

"Mbak Linkan tuh," Kei menyenggol lenganku saat memasuki restoran luas berinterior modern tempat sarapan pagi disiapkan. Semalam kami baru masuk kamar sekitar jam sebelas. Akhir pekan ini aku dan Kei janjian di Tokyo-eki selepas jam kerja lalu menumpang Tokaido-Sanyo Shinkansen langsung menuju Osaka. Tempat kami menginap di daerah Namba adalah hotel yang sama tempat Om Ghani menginap sejak dua hari lalu. Ada Linkan dan dua orang lagi dari Arkatama Grup ikut menemani Om Ghani menyelesaikan urusan bisnisnya. Pagi ini kami diminta langsung menyusul Om Ghani yang sudah duluan sarapan di resto lantai 35 hotel ini.

Aku merasakan debaran kencang melihat pemandangan yang terhampar nyata di depan. Denyutnya semakin cepat sampai sesak memenuhi ruang dada. Seiring dengan otakku yang terasa kram karena sejak kemarin terus memikirkan rencana pertemuan dengan Linkan. Dipaksa mereka-reka apa yang harus kulakukan agar bisa berbincang tenang berdua tanpa bersitegang. Di meja persegi berkursi empat berjarak sekitar sepuluh meter, Linkan tengah berbincang akrab sambil menikmati sarapan dengan Om Ghani. Wajahnya terlihat cerah tak beriak bagai embun pagi. Kepalanya dibalut hijab warna merah muda bercorak. Membuat kehadirannya dengan mudah dikenali di antara puluhan kepala yang sedang menikmati sarapan pagi. Meja mereka tepat berada di pinggir ruangan berdinding kaca lebar. Menampilkan latar belakang pemandangan menakjubkan kota Osaka dari ketinggian.

"Cantik," desisku tanpa sadar. Tak pernah kusangka Linkan begitu modis dalam blus dan rok lipit merah muda pucat yang membalut longgar badannya. Menyembunyikan lekuk badan mungilnya tanpa kedodoran. Aku mengamati tote bag kulit warna merah dan coat tersampir di punggung kursi yang diduduki Linkan. Dia masih saja menyukai tas model seperti itu, batinku penuh kerinduan. Rasa kangen itu seketika menyeruak masuk tanpa permisi. Menambah sempit ruang dadaku yang debarannya tak juga mereda.

"Tas kayak begini ini enak dibawa pergi kemana-mana, Ga," balas Linkan beralasan saat aku pernah menanyakannya dulu. "Bisa menampung apa aja dengan mudah. Kalau sedang buru-buru, laptopku juga kumasukkan ke dalamnya. Ditambah satu setel baju ganti juga masih muat, nggak perlu bawa tas lain lagi. Lebih praktis, nggak ribet."

"Macam kantong Doraemon aja," balasku tak hendak berhenti membahasnya. "Gede banget, Kan. Terlihat jomplang dengan badan kamu," selorohku lagi.

"Biarin! Yang penting aku kuat bawa sendiri, nggak perlu nyewa porter buat bawain tasku kemana-mana," jawab Linkan tak mau kalah. Matanya mulai membelalak lucu.

"Entar kamu susah tinggi lho, kalau sering bawa tas yang berat-berat gitu."

"Bodo'!"

Satu hal yang aku suka dari Linkan. Kalau aku meledeknya, dia tidak akan benar-benar marah. Paling banter cuma mengomel sebentar setelah itu selesai, tidak pernah dimasukkan ke dalam hati. Itu sebabnya aku kerap mengisenginya. Keisengan yang akhirnya semakin mengakrabkan hubungan pertemanan kami kala itu. Pertemanan yang kemudian berkembang menjadi cinta. Aku mengeluh dalam hati. Rasanya baru kemarin aku bercanda tawa dengan Linkan, saat segala sesuatu belum menjadi rumit seperti sekarang.

"Pemandangannya yang cantik atau gadis yang duduk di depannya?" Gurauan Kei segera menarikku dari lamunan.

Aku mendengkus masam, "Kayak gitu masih perlu lo tanyakan?"

Tawa Kei langsung berderai. Dengan semangat ia menjajari langkah pelanku menuju meja Om Ghani.

"Jalannya buruan, woy! Jangan kayak pengantin sunat," godanya lagi. Sejak kemarin Kei tak henti meledekku. Apalagi dengan jelas aku tidak mampu menyembunyikan rasa gelisah. Kei yang menyadari karena aku semakin irit bicara langsung menjadikanku bulan-bulanan. Sepertinya ia sengaja balas dendam karena dulu aku sering meledeknya saat gundah gulana ditinggal Binar pulang ke Indonesia tanpa pamit.

Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang