10. Thinking of You

192 23 3
                                    

Aku termenung menatap kilau sinar matahari sore pada permukaan kolam renang sampai Kei datang menghampiri. Ia mengulurkan segelas jus jambu merah tanpa berkata-kata. Sejak pagi perutku terasa sedikit melilit, jadi aku meletakkannya begitu saja di meja kayu pendek di sebelahku.

"Diminum, Ga," ujar Kei mempersilahkan.

"Hmmm ..."

Kei lalu duduk di bench seberangku sambil menyesap gelas miliknya. "Sekarang lo bisa mulai cerita, mumpung lagi sepi."

"Binar?"

"Di kamar. Lagi packing buat jalan besok."

Aku menarik napas lalu melepaskannya kuat-kuat seakan dengan begitu semua rahasia yang selama ini aku sembunyikan ikut terlempar keluar. "Sori kalau gue nggak pernah cerita, Kei. Kalau lo tahu pasti ngamuk, makanya gue diem-diem aja. Rencananya sampai gue dan Linkan secara resmi go public baru gue cerita. Ternyata malah hubungan kami nggak berjalan lancar."

Uaraianku tak membuat Kei merespons. Sejak Kei tahu aku dan Linkan pernah punya kisah terpendam di masa lalu, baru sekarang aku punya kesempatan membuat pengakuan dosa kepadanya. Jadwal acara di Jogja yang padat, lalu disambung resepsi di Jakarta membuat kami tidak sempat berbincang serius. Tadi pagi Kei meneleponku agar datang ke rumahnya sore ini karena besok pagi ia dan Binar sudah bertolak ke Tokyo untuk berbulan madu.

"Sejak kejadian di kamar waktu itu, Linkan juga terus menghindar. Sepertinya dia punya radar canggih yang bisa mendeteksi kehadiran gue. Karena begitu gue hendak mendekat, dia tiba-tiba menghilang," keluhku sebal. Aku bukan tidak berusaha menemui Linkan, dan mengajaknya berbicara empat mata. Namun gadis itu tampaknya sedang tidak ingin bertemu denganku, bahkan sampai acara resepsi berakhir aku belum berhasil menjumpainya.

Kami duduk menghadap ke kolam renang di gazebo belakang rumah Om Ghani yang selalu jadi basecamp-ku sejak kecil. Pohon mangga di pojokan halaman yang dulu jadi tempat main panjat-panjatan kami masih berdiri tegak. Cabangnya makin banyak dan kukuh, daunnya juga rimbun menambah teduh halaman belakang yang penuh dengan berbagai macam jenis pepohonan.

Kei akhirnya membalas sambil menggelengkan kepala. Wajahnya masih menunjukan raut tak percaya. "Empat tahun, bro! Lo pinter banget nyembunyiin dari gue. Ck!" decaknya pelan. "Elo yang canggih, Ga."

"Lima. Kalau dihitung dari gue pertama dekat dengan Linkan."

Kei tertawa kecil. "Lo segitunya cinta dia, Ga? Sampai prinsip lo nggak bakal ngedeketin cewek yang sudah taken saja lo langgar."

Aku meringis masam. "Linkan itu anomali gue."

Kei menggeleng heran, "Kenapa harus Linkan, Ga? Saat itu banyak cewek single yang bisa jadi incaran lo."

Aku menggemeletukkan gigi pelan lalu mulai bertutur. Cerita kurunut mulai dari pertemuan tanpa sengaja di resto dekat Bundaran HI sampai mengapa aku bisa dekat dan akrab dengan Linkan. Kei mendengarkan dengan saksama. Aku meringis mengenang saat-saat itu sembari menarik napas dalam-dalam. Sepertinya hari ini tidak akan cepat berakhir.

Remember the old time ....

"Hei, Aga!?"

"Yes, mam!" Aku meringis mendengar nada judes di seberang yang menghubungi belum lama setelah laptop kunyalakan dan aku duduk di meja kerja kamarku. Aku bermaksud meneruskan pekerjaan yang kubawa pulang untuk diselesaikan di rumah. Lagipula malam belum terlalu larut, jam dinding baru menunjukkan pukul sembilan lewat.

"Pasti kamu yang masukin perforator(1) gede ini ke dalam tasku?" Linkan tak membuang waktu langsung menuduh,"Pantes aja pulang tadi kok berasa tambah berat. Pas aku cari charger ponsel baru liat ada barang segede gaban nongkrong di situ."

Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang