Five years ago ....
"Eh, Bang Aga." Rivi, resepsionis ruang direksi menyambut girang saat melihatku, "Tumben ke sini?" Wajahnya sekarang terlihat lebih bersih dan segar. Tidak kusam seperti saat pertama kali kubawa menghadap Om Ghani untuk melamar pekerjaan setahun lalu.
Belum sempat aku menjawab ia lantas melanjutkan, "Bang Aga kemana aja? Udah lama nggak main ke panti. Ibu udah kangen, adik-adik juga suka nanyain. Eh, tiba-tiba nongol aja di sini."
Aku meringis. Sudah hampir empat bulan aku tidak berkunjung ke panti tempat Rivi dibesarkan. Aku hanya mampu mentransfer sebagian rezeki tanpa sempat bertemu dengan ibu panti dan anak asuhnya. Biasanya sebulan sekali aku sempatkan datang sebentar, seperti yang selalu rutin kulakukan sejak kuliah dulu. "Maaf, akhir-akhir ini gue sibuk. Nanti kalau senggang gue mampir."
"Siap, Bos!" Rivi dengan lucu menirukan pose prajurit sedang memberi hormat.
"Gue janjian ama Kei. Dia udah ada di dalam, kan?"
Rivi mengangguk. "Ada di ruang Bapak sejak setengah jam lalu. Bapak masih ada meeting ruang rapat bawah. Direksi lain udah pada pulang. Bang Aga mau langsung masuk ke dalam atau nunggu di situ saja?" tawar Rivi. Kepalanya menoleh ke ruang luas berdinding kaca yang terlihat dari mejanya.
Aku melirik ruang tamu top floor gedung ini. Vertical blind warna abu-abu muda pada dinding kaca ditarik membuka, menampakkan isi di dalamnya. Satu set sofa kulit warna hitam terletak di tengah ruangan. Penerangannya agak redup karena lampu dimatikan sebagian. Sebagian terang dihasilkan dari lampu sorot, mengarah pada lukisan-lukisan kontemporer sepanjang dinding yang berseberangan dengan dinding kaca, di sisi sebuah panel kayu lebar setinggi pintu. Semua ruangan di lantai ini didesain bergaya modern minimalis dengan warna dominan putih, abu-abu, dan cokelat. Lantainya berlapis karpet tebal warna abu-abu muda. Lampu di langit-langit ditata apik sehingga menimpulkan kesan homey.
"Gue langsung masuk aja, deh," putusku.
Rivi mengacungkan jempol lalu pintu otomatis terbuka tanda aku sudah diijinkan masuk. Tidak semua orang bisa sembarangan melewati pintu ini. Hanya yang sudah mempunyai janji, atau yang benar-benar sudah mengenal empunya kantor bisa keluar masuk ruang direksi dengan mudah.
"Jangan lupa salam buat Ibu."
"Oke, Bang."
Ruang berikutnya yang kulewati tampak kosong. Mungkin karena jam kerja sudah berakhir. Aku mengintip ke dalam ruang sekretaris yang juga sepi. Hanya ada seorang gadis muda duduk tenang di mejanya. Kuperkirakan saat berdiri, tingginya seukuran Khawla. Ia serius menatap layar komputer ukuran enam belas inci warna perak. Tiga buah meja kerja di seberangnya kosong tak berpenghuni.
"Permisi." Aku mendekat ke depan meja gadis itu mencoba mengusiknya, "Maaf, Bu? Om ... eh, Pak Ghanindra ada?"
Wajahnya sontak mendongak kaget menatapku. Detik itu juga aku merasa sesuatu menyelinap masuk ke dalam hati.
Oh, man! Gadis ini menarik.
Aku berdeham mencoba melonggarkan tenggorokanku yang tiba-tiba kering. Wajahnya masih segar seperti percikan embun pagi meski sudah waktunya jam pulang kantor. Cerah, tapi dengan tatapan setajam silet.
"Maaf dengan Bapak siapa?" suaranya tegas.
"Eh, sa-saya dengan Nagata, Bu." Aku masih terpesona pada wajahnya.
Gadis itu segera memeriksa layar tablet warna perak di samping papan ketik komputer. Ketika tidak menemukan yang dicari, gadis itu kembali menilikku tajam.
"Pak Nagata dari mana, Pak? Maaf, apakah Bapak sudah punya janji temu dengan Pak Ghanindra?"
"Saya dari perusahaan sistem perangkat lunak asal Amerika yang mempunyai cabang di Jakarta, Bu. Belum ... euhm, saya belum punya janji dengan Pak Ghanindra." Tapi saya punya janji dengan anaknya, aku menambahkan dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)
RomanceNagata memilih pergi sambil meniupi egonya yang terluka. Meski tak mudah, setidaknya jauh membuat Nagata semakin memahami jika ia tak boleh menyerah pada garis hidup. Nagata berusaha mencari cinta lain. Yang sama sekali berbeda dari cinta milik Lin...