19. Larik Senyum

41 11 5
                                    

"Excuse me. Patient representative Miss Linkan Nirmala!"

Terdengar suara wanita memanggil.

"Yes!" Aku sontak menoleh kaget ke arah suster setengah baya berambut pendek yang muncul dari pintu ruang emergency.

"Please, come in," panggilnya ramah menyuruhku mengikutinya.

Selintas kuperhatikan wajah perawat tersenyum tipis sebelum menghilang di balik pintu yang sebelumnya selalu kupandang dengan kusyuk seperti saat mengeja kode-kode Javascript, PHP, atau Python. Seketika harapan di hatiku membumbung menembus langit. Salah satu indikasi kabar baik adalah wajah si pembawa berita berlarik senyum. Dan sebaliknya, jika kabar yang dibawa buruk, pasti wajah pembawa berita akan sama keruhnya dengan informasi yang akan disampaikan.

"Right away, miss!" balasku cepat tak membuang waktu. Aku langsung memelesat mengabaikan panggilan telepon Kei. Ponsel buru-buru kumasukkan ke dalam saku jaket lalu bergegas masuk ruang tindakan mengikuti patuh langkah senyap suster.

Ruang Emergency hening dan dingin. Hanya terdengar bunyi bip bip konstan di sudut ruang. Bau khas obat-obatan langsung melesak ke dalam indera penciuman. Mataku sibuk menyisir seisi ruangan luas yang kumasuki tiga jam lalu, tak sabar mencari sosok yang jelas-jelas merajai hati dan pikiranku. Namun tirai tinggi yang terpasang menutupi deretan hospital bed membuat asaku tak kesampaian.

Di ujung ruangan, suster tersebut mempersilahkanku duduk di depan dokter yang tadi mewawancaraiku. Wajahnya tersenyum ramah. Dengan singkat dokter itu menjelaskan bahwa kondisi Linkan semakin stabil. Asmanya tidak sampai parah karena cepat ditangani. Namun begitu Linkan masih harus diobservasi selama beberapa jam ke depan di ruang ini agar dokter memastikan bahwa tidak ada hal serius lain yang bisa mengancam jiwanya. Penjelasan dokter membuat berat yang mengganjal di dadaku sedari tadi menguap tak bersisa. Ringan, enteng, dan melegakan. Bayangan laknat yang sejak tadi bertebaran di pikiranku jelas tidak ada yang terbukti satupun. Fiuh!

"Thank you, Doc," ucapku tulus sambil berdiri lalu menjabat tangan dokter berusia setengah baya yang merawat Linkan. "Can I see Miss Linkan for a moment?" Suaraku terdengar penuh permohonan.

Seakan memahami isi hatiku, dokter berperawakan kurus tinggi dan berkacamata itu mengangguk mempersilakan, "Yes, sure."

--*--

"Linkan," mulutku seketika mengucap lirih saat melihat sosok mungil dengan mata terpejam berbaring kaku berselimut kain lembut berwarna biru muda khas rumah sakit. Di tangan kirinya masih terpasang selang infus dan selang oksigen juga masih menempel di hidung mungilnya. Bunyi ngik ngik yang tadi membuatku bergidik ngeri tidak lagi terdengar. Napasnya teratur. Paras Linkan masih belum kembali berwarna, namun tidak sepucat seperti terakhir aku membawanya masuk ke ruangan ini.

Seperti merasakan kehadiranku, kelopak mata Linkan tiba-tiba membuka perlahan. Tanpa senyum. Sorotnya lemah, namun terlihat senang melihatku muncul di hadapannya.

"Ga."

Gestur Linkan seketika menunjukkan sinyal memintaku mendekat. Aku melirik suster yang menemaniku menemui Linkan. Seakan paham keinginanku, suster lalu menyibak lebar satu sisi gorden di ujung ranjang lalu merentangkan kelima jari kanannya.

"Five minutes," ujarnya ramah. Jackpot! Aku mengangguk senang. Five minutes is enough. Niatku hanya ingin mengintip sosok Linkan setelah mendengar penjelasan dokter ternyata ditambah bonus boleh menemuinya meski hanya sekejap. "Thank you, miss."

Aku berjalan pelan mendekati sisi sebelah kanan ranjang yang bebas dari kabel dan selang infus yang berujung di tubuh Linkan. Tanganku tanpa sadar mengelus sayang lengan kanannya yang tertutup selimut.

Sweet Anomaly [ON GOING] - Seri: Love Will Find a Way (2)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang