Part 1. Next Destination 🧗‍♀

244 25 3
                                    

Tiada pelangi sebelum hujan. Begitu pula sebelum aku melewati badai dan topan ini maka pelangi tak ada untukku. 

Sudah 12 jam sejak pendakian pertama kali kulakukan. Siapa yang akan percaya seorang gadis sebentar lagi akan menaklukkan Gunung Kilimanjaro yang perkasa dan terkenal sulit didaki. Menurut data bahkan lebih dari 65% dari mereka tidak dapat mencapai puncak. Salah satu hal  yang menyulitkan pendakian di Kilimanjaro adalah kondisi cuaca yang buruk. Cuaca Pegunungan terkenal tidak dapat diprediksi. Seperti yang terjadi saat ini, menjelang malam cuaca menjadi sangat dingin. 

Namun, tentu saja. Tidak ada rintangan yang dapat menghalangiku!. Selama ini tekadku kuat, maka aku pasti bisa mengatasinya. Saat berhasil, ini akan menambah rekor pendakianku setelah sebelumnya berhasil menapakkan kaki di berbagai puncak gunung tinggi di dunia seperti gunung Elbrus di Rusia, gunung Denali di Amerika Utara, gunung Kosciuszko di Australia, dan gunung Everest di perbatasan antara Nepal dan daerah otonomi Tibet, China. 

"Nona jangan lanjutkan lagi! Sebaiknya kamu kembali saja. Cuaca sangat buruk, lintasan menjadi sangat licin. Kamu harus turun secepatnya." 

Kumatikan saja Handie Talkie itu. Tak akan kubiarkan suara-suara para penakut mempengaruhiku. 

Salju-salju itu mulai membuat kacamataku berembun. Jalanan memang menjadi semakin licin. Aku menguatkan cengkeramanku pada dinding dan batuan yang menonjol.

Terdengar suara kawanan burung yang akan bermigrasi ke arah selatan. Karena pencahayaan yang kurang, aku tidak melihat kerikil yang membuatku hampir terjatuh dari ketinggian 18.000 kaki. Untungnya, refleksku masih bekerja atau keberuntungan masih ada untukku, setidaknya kali ini. 

Pada detik terakhir aku berhasil berpegangan pada ranting yang menonjol di permukaan gunung. 

"Ayo Sana, kamu pasti bisa. Fokus. Fokus." 

Setelah menarik nafas dan mengambil ancang-ancang aku berhasil kembali ke posisi aman. Kurasakan tanganku perih. Sarung tangan yang kupakai robek karena tersayat ranting pohon yang tajam. Kakiku juga terasa keram akibat cuaca yang sangat dingin. 

Apa aku akan gagal?

Tidak. Tidak. Tidak ada kata gagal dalam kamusku. 

Sudah sejauh ini dan aku menyerah?. Maafkan aku rasa sakit dan putus asa. Kali ini pun kalian tidak dapat menguasaiku. 

Aku bangkit dengan kaki kiri yang keram. Aku memaksakan diri melampaui batas-batas yang aku miliki. Tidak ada yang membantuku, maka akulah yang akan membantu diriku. 

Malam itu memang tidak ada lagi pendaki selain diriku yang bodoh. Sejak menjelang sore para pendaki sudah menuruni bukit, tapi aku memulai ketika semua orang selesai. Aku memang sengaja mendaki agak sore untuk mendapatkan ketegangan ini. Karena pada malam yang dingin aku merasa sakit dan itu membuatku lebih kuat.

.

"Ceritamu itu keren dan bodoh nona." Ucap wanita tua dengan rambut di sanggul dan mata sipitnya. Wajahnya tenang ditelan malam. 

"Itulah yang membuatku hidup nyonya, semua bahaya dan kesulitan itu memberikanku kebanggaan yang tak seorangpun bisa merebutnya dariku."

Wanita tua itu menggeleng. Ia bangkit dan berdiri di tepian perahu sehingga lebih dekat dengan laut. "Dengar nak, jika aku boleh berkata jujur. Aku harap kamu tidak tersinggung."

Wanita itu menatap wajah wanita muda dengan garis wajah tegas, namun bola matanya memancarkan kesedihan yang berusaha mati-matian disembunyikannya. "Aku pikir kamu terlalu egois nak. Kebahagiaan yang kamu cari, dan kebanggaan yang kamu coba raih itu tidaklah benar."

Sana mendekati wanita tua itu. "Tidak nyonya," Sana menggeleng. "Aku tidak akan pernah membiarkan suara yang menunjukkan kelemahan itu menguasaiku."

"Aku tidak mempermasalahkan pencapaianmu dan  keberanianmu. Namun terkadang mengecilkan langkah kita bukan berarti lemah. Terkait kebahagiaan yang kamu cari, bahkan hingga keujung duniapun kamu tidak akan menemukannya selama kamu tidak berhenti menatap langit dan melupakan apa yang telah kau pijak."

Sana menatap wanita tua itu lamat-lamat. Ia ingin sekali membantahnya. Namun mengingat ia menumpang di perahu wanita itu, setidaknya ia harus menjaga sikapnya. 

Cukup lama setelah percakapan itu. Senyilir angin yang dingin dan gelombang lautan membawa perahu itu semakin mendekati pulau yang menjadi pelabuhan Sana selanjutnya. 

Pria dengan baju compang-campingya menyalakan bel, pertanda kini sudah sampai di pelabuhan. 

Di pagi yang buta itu berbagai perahu-perahu secara bergantian hilir-mudik. 

"Terima kasih atas tumpangannya, nyonya". Ucap Sana sebelum pergi. Sekali lagi ia berbalik menatap wanita tua itu. "Terkait pendakian di Afrika, sudah pasti aku juga berhasil." Ucap Sana dengan bangga kemudian turun menuju pelabuhan. 

Pagi itu Sana memutuskan berkeliling pasar dan membeli makanan untuk mengganjal perutnya yang merana.

Berbagai stand makanan khas Taiwan sudah tak sabar untuk disantap. Dengan pengetahuan bahasa Mandarin yang seadanya Sana jadi kesulitan berkomunikasi disana, apalagi para pedagang di pasar tradisional itu sudah tua-tua, sehingga mereka tak begitu paham bahasa Inggris apalagi Jepang. Dengan demikian bahasa isyarat menjadi satu-satunya solusi.

Sana meletakkan ranselnya yang berat, dan duduk di kursi yang tersedia. Sana memesan hidangan nasi babi kecap khas Taiwan yang disebut Lu Rou Fan.

Makanan yang terbuat dari perut daging babi itu sangat lezat ditambah lagi dangingnya yang juicy disantap dengan nasi yang masih hangat. Sana begitu lahap menikmatinya.

Saat sana asik makan tiba-tiba saja seorang pencuri mengambil ransel miliknya dan melarikan diri.

"Hei Pencuri!" Sana yang masih menguyah makanan sampai tersedak. 
Ia meneguk segelas air baru kemudian mengejar pencuri itu.

"SIAL! Aku baru saja tiba sudah kecopetan."

Pencuri itu dengan lincah melewati jalanan di pasar yang ramai. Sana kesulitan mengejarnya karena terhalang orang-orang yang kerepotan membawa barang belanjaan.

"Maaf permisi. Duìbùqǐ."
Dalam sesaat Sana kehilangan jejak pencuri itu. Matanya menyusuri setiap sudut pasar. Ia melihat belokan menuju jalan kecil di ujung jalan. Instingnya menuntun ke sana.

Benar saja, pencuri itu mengira sudah lolos dari kejaran sehingga ia bersantai untuk memijat punggungnya yang pegal karena membawa ransel seberat itu.

Ia langsung melupakan pegalnya dan kembali berlari. Kali ini ia menuju ke arah jalan raya.

Sedikit lagi Sana berhasil meraih ranselnya, jika saja teman pencuri itu tidak memukulnya dari belakang.

Sana terhuyung akibat pukulan keras itu. Dengan kesadaran yang perlahan hilang, begitu juga ranselnya yang dibawa pergi oleh pencuri.

🧭🎒

Next? Vote!
💜💙

"The Lost Traveller" #SATZUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang