Part 13. Jakarta 🚙

47 9 2
                                    

"Orang yang melangkah paling jauh umumnya adalah mereka yang memiliki keinginan dan keberanian. Perahu yang aman tidak pernah beranjak jauh dari garis pantai." - Dale Carnegie.

.

Kata-kata dalam surat itu benar-benar berhasil membuatku keluar dari persembuyian. Setelah sebelas tahun tidak berpergian sama sekali, hari ini akhirnya tiba. Apakah mungkin? dan mungkin saja itu memang dia. Mungkinkah penantianku kini akan berakhir?. Aku harap kali ini aku tak lagi tersesat. 

Indonesia. Aku datang membawa harapan dan semangat baru. Semoga kau tidak mengecewakanku. 

Malam berganti pagi. 

Aku disambut oleh kabut kelabu di Ibukota Jakarta. Meski demikian aku percaya di tengah polusi Jakarta ada angin segar yang akan mengubah hari-hari kelamku. 

Begitu berjalan menuju pintu keluar bandara Internasional Seokarno-Hatta. Aku mendapati seorang gadis remaja memegang papan selamat datang bertuliskan namaku. "Apakah itu dia?."

Gadis itu melambai ke arahku, dia memberi isyarat agar aku mendatanginya. 

"Hello Ms. Tzuyu, welcome to Jakarta, Indonesia. I'm Rina yang mengirimkan kamu surat ehh letter ya? you know?." Gadis itu sangat periang dan murah senyum.

"Oh, so it's you!."

Gadis itu mengangguk. Ia menyengir, "Mbak Tzuyu, aku mau foto dan tanda tanganmu boleh kan?."

Aku mengangguk dengan kikuk. Sudah lama sekali aku tidak berfoto. 

"One dua tiga... Cekrek!"

Selepas berfoto aku menandatangani kaosnya yang berisikan logo channel youtubeku. "Kamu bahkan mencetak logoku di kaos. Ini keren, terima kasih ya."

Gadis itu mengangguk. Dia kemudian meraih sesuatu di saku celananya. Ia merogoh sebuah kertas kecil dan memberikannya padaku. 

Isinnya sebuah alamat tempat. 

"Pastikan kamu mengunjungi tempat ini nanti. Seseorang sedang menunggumu."

Bulu kudukku perlahan berdiri. Desiran aneh terasa di perutku. "Apa kamu tahu siapa dia?." Aku berharap-harap cemas. 

Gadis bernama Rina itu memberiku tatapan yang sengaja menimbulkan pertanyaan. "Kau harus menemuinya sendiri."

Setelah bersalaman dan mengucapkan terima kasih, Rina kemudian pergi.

Aku kembali menatap surat itu. "Kumohon kali ini jangan kecewakan aku." Jantungku semakin berdegup kencang melihat saat-saat itu semakin dekat.

Aku menyetop taksi berwarna biru. 

"Pak tolong antar aku ke Merdeka Square, Jalan Lapangan Monas, Gambir, Kecamatan Gambir, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10110." Aku membaca alamat lengkap pada kertas yang diberikan.

Sopir dengan kumis tipis seperti ikan lele itu menyengir. "Oh ke Monas, oke-oke. Kurang lebih satu jam sampai ya. KALAU TIDAK MACET. Heheheh."

Sopir itu kelihatan sangat menekankan kata macet. Dan benar saja, kota ini tidak banyak berubah terutama terkait kemacetan dan polusi udaranya. 

Aku menghembuskan napas berat. Jalanan mulai panas ditambah lagi rasa penasaranku untuk bertemu dirinya. Seandainya aku bisa segera melempar diriku ke monas. Dua belas tahun yang lalu aku pernah ke sini namun tidak sempat ke monas. 

Taxi bergerak semakin lambat. Di depan ada anak-anak yang mengamen di tengah lampu merah. Di bawah terik mentari yang panas, anak-anak itu sangat bersemangat menghibur dengan nyanyian mereka. Aku merogoh uang yang sekiranya cukup untuk membantu mereka.

Seorang gadis kecil yang menenteng ukulele menerimanya. "Terima kasih mbak, semoga segala keinginanmu bisa jadi kenyataan." Anak-anak yang lain juga terlihat memberiku doa yang sama. 

Lampu merah kini berganti kuning, anak-anak itu berlari untuk menepi. Dalam sekejap lampu kuning berubah menjadi hijau, akhirnya setelah beberapa kilometer kami terbebas dari macet.

Tak terasa perasaan lega itu mulai berganti menjadi gemuruh ketegangan saat sopir taxi mengatakan kita sudah sampai di Monas.

Aku meneguk saliva dengan kasar. Dari pintu masuk sudah tampak  monumen besar dengan lapisan emas berbentuk api di bagian paling atas. 

Aku mulai merasakannya. Getaran yang semakin kuat. Aku semakin mendekat ke arah monumen itu. Perutku bergejolak rasanya sangat tidak nyaman. Keringat dingin mulai melucur dari keningku. Aku menatap jam dan setiap detiknya kurasakan jantungku berdetak lebih cepat.

"Dimana kamu?." Aku tidak berani menatap ke sekeliling. 

Monumen itu masih cukup sepi dan hanya beberapa orang saja yang berfoto-foto di dekat sini.

Saat hendak memperbaiki posisi tasku yang melorot, tas itu dirampas oleh seseorang berjaket kulit hitam, bertopi hitam, dan bermasker hitam. Dia berlari dan membawa tasku. 

"HEI PENCURI! BERHENTI!"

Dia berlari mengelilingi monumen untuk menghindari kejaranku. Setelah satu putaran dia berhenti di titik awal.

 Dia melepas topinya. Seketika itu rambutnya yang panjang dan diikat seperti ekor kuda tehempas. Kini wajahnya hanya tertutup setengah dengan masker. 

Satu-satunya yang bisa aku lihat dengan jelas adalah matanya yang indah. Tatapan yang sama, namun kali ini bagai emas yang ditempa cukup lama, ia menjadi semakin indah dan berkilauan. 

Dari jarak tiga langkah aku tersenyum padanya. Bola matanya yang indah mengeluarkan air yang bening dan membuatnya semakin berkilauan. 

Aku melangkah dua kali untuk memangkas jarak hingga bisa aku hilangkan air mata itu.

Saat hendak melepas maskernya dia menahanku. 

Aku menatapnya dan meyakinkannya agar dia mau melepasnya. 

"Cantik."

Dia menunduk. "Jangan bohong. Tubuhku penuh dengan luka."

Aku memegang dagunya. "Bahkan luka-luka inipun bagai permata ditengah lautan. Ia semakin menambah keindahannya."

Dia menegakkan kepalanya dan akhirnya menatapku. "Tzuyu aku merindukanmu."

Air mataku yang berusaha kubendung akhirnya tumpah ruah. Aku benar-benar memangkas habis jarak diantara kami. Pelukan ini begitu emosional. "Aku juga sangat merindukanmu, Sana." Aku mengecup lembut pucuk kepalanya. 

Kami membiarkan diri cukup lama terbenam dalam pelukan.

"The Lost Traveller" #SATZUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang