Part 8. Taitung 🍎

61 11 0
                                    

Aku bergumam dalam hati. "Yaampun, tidak biasanya aku seceroboh ini." Aku menepuk keningku. Sejak bertemu dengan Tzuyu aku seperti kehilangan sesuatu. Aku tidak pernah menyesali perjalananku saat pergi ke berbagai negara. Selalu ada pengalaman istimewa yang aku dapatkan. Namun kali ini berbeda. Sejak baru tiba di Taiwan aku sudah ditimpa kemalangan. Ranselku dicuri dan aku kini berteman dengan traveller narsis yang tidak pernah menghadapi keganasan alam di dunia. Ia tidak mengerti esensi travelling yang sesungguhnya.

"Tzuyu chan."

"Iya Sana, kenapa?." Dia menoleh kearahku. Sejak kejadian di tangga tower sampai sekarang pun pipinya masih merah. Ia seakan takut untuk kontak mata denganku.

"Apa ada negara lain yang sudah pernah kamu kunjungi?."

Kami sekarang tengah berjalan keluar hutan.

Tzuyu memperbaiki posisi tasnya. Ia terlihat berpikir. "Ehmm kalau tidak salah sudah 24 negara seperti Thailand, Brunei, Amerika, Inggris, Italia, Prancis, Kanada, Spanyol, China, India, Nepal, dan seterusnya, yang terakhir aku kunjungi adalah Indonesia. Ya itu seingatku. Entah ada lagi."

"Apa saja yang biasa kau lakukan selama travelling?. Saat di Spanyol apa kau pernah ikut kompetisi rodeo di Spanyol?. Atau mendaki puncak Himalaya di India?."

Tzuyu menggeleng. "Itu terlalu ekstrem Sana. Aku bukan traveller sepertimu. Aku menghargai kesederhanaan. Apa kau tahu saat mengunjungi negara lain aku selalu mencoba kuliner mereka, bersenang-senang dengan masyarakat sekitar kemudian membagikan pengalaman itu di Internet menurutku itu juga suatu kebahagiaan. Melihat orang-orang menyukai kontenku karena itu memberikan mereka manfaat membuatku merasa berharga. Fisikku memang tidak sekuat dirimu untuk menaklukan medan yang terjal. Namun bagiku caraku travelling yang kau sebut pengecut ini adalah pencapaian sangat besar, aku bangga akan hal itu Sana, dan aku bahagia melakukannya. Aku tidak melakukannya agar seluruh dunia melihatku bahagia, tapi aku melakukannya untuk diriku sendiri. Murni dan iklhas. Dan aku tidak perlu menantang dunia untuk membuktikan bahwa aku bahagia, bahwa aku hebat dan tangguh dan orang lain adalah lemah karena pencapaianku."

Mata Tzuyu yang sedikit berair menatapku dengan tegas. Belum pernah aku melihatnya seperti ini. Kalimat panjang yang terlontar darinya seakan membuatku tenggelam dalam refleksi diri. Aku tidak suka dikuasai oleh emosi, tapi kini aku harus menerimanya bahwa aku telah hanyut dalam pembuktian.

Tzuyu mendekat dan meraih pundakku. "Sana aku mohon sekali saja jujurlah pada dirimu. Apa kau benar-benar bahagia sekarang?. Apa kau benar-benar bahagia saat menantang maut di hutan Afrika atau hampir mati dari ketinggian gunung Kilimanjaro?. Apa kau benar-benar ingin melakukan itu, atau itu hanyalah pelarianmu dari kekecewaan?.

Tzuyu meninggalkanku dan keluar hutan lebih dahulu.

Apa aku senang melakukan semua itu?. Aku tak pernah memikirkannya. Tapi aku memang hebat karena berhasil melakukannya. Dan atas pencapain itu seharusnya memang aku bahagia.

Seharusnya.

.

Karena tak sanggup menangis di depan Sana, aku keluar hutan lebih dulu dan mencari toilet umum untuk membasuh wajahku.

Pada akhirnya ungkapan hatiku keluar juga.

Apa aku terlalu berlebihan?. Haruskah aku minta maaf pada Sana?. Bagaimana jika dia marah dan meninggalkanku.

"Tidak-tidak itu tidak boleh terjadi." Aku menggeleng dan mengerikan wajah dengan tisu.

Aku menemukan Sana di luar gedung toilet. Dia menungguku?.

Dengan berusaha tenang aku menghampirinya.

Sana berbalik dan melihatku. "Tzuyu." Nada suaranya rendah.

"The Lost Traveller" #SATZUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang