Part 14. The Old Lady ⛵

60 10 0
                                    

Sinar senja terakhir ternyata belum tiba bagiku. Meski aku sudah menyerahkan diri sepenuhnya, tampaknya semesta belum mengizinkannya untuk berakhir. Jika dulu nenek itu yang membawaku dengan kapalnya sehingga bisa tiba di Taiwan dan bertemu denganmu, kali ini dia juga membawaku ke pulau ini dan kini kita bisa bertemu lagi. 

"Namanya nenek Putri. Dia seorang nelayan asal Indonesia. Dia menghabiskan separuh hidupnya dengan berlayar mengarungi berbagai samudra dan lautan. Saat badai topan melontarkanku ke laut saat itulah aku kira hidupku telah berakhir. Tapi nenek Putri datang dari barat dengan kapalnya yang tak begitu besar namun mampu bertahan di tengah gelombang laut yang ganas. Dia kemudian menyelamatkanku dan merawatku hingga ingatanku pulih."

"Berarti dia sangat berjasa pada perjalanan takdir kita. Sekarang dia ada dimana?. Aku ingin menemuinya." Tzuyu menatapku sambil terus mengelus-ngelus luka di pipiku dengan lembut. 

Aku menunduk. "Dia sudah tiada setahun yang lalu."

"Aku yakin nenek Putri telah menjalani hidup yang luar biasa dan dengan segala kebaikannya akan membawanya ke tempat terbaik." Tzuyu meyakinkanku.

"Aku akan selalu berdoa untukknya." 

Kami terduduk di bawah Monas dan membiarkan kerinduan kami menyatu dengan setiap angin yang berhembus. 

Tzuyu menggenggam tanganku. Dia menyerahkan sekumpulan kertas, totalnya ada sebelas. "Satu kertas mewakili satu tahun kerinduanku padamu. Apa kau mau membacanya."

"Tentu saja." 

Tentu aku sangat ingin mengetahui hari-harinya yang juga suram sama sepertiku. Aku bersender pada punggungya dan membaca surat itu satu per satu.

Kami membiarkan cerita masing-masing mengalir hingga mentari perlahan turun dari cakrawala. 

Dibawah langit malam yang dihiasi gemerlap bintang-bintang kami melangkah sambil menggenggam tangan satu sama lain. Genggaman yang kuat dan menghangatkan. Langkah kami menyatu dengan aspal yang berdebu dan bisingnya suara kendaraan seakan lenyap. Aku hanya merasakan suara langkah kaki kami yang saling bersahutan. Rambut Tzuyu yang panjang dibiarkannya memeluk angin. 

Cukup lama kami melangkah tanpa tujuan, membiarkan perasaan kami mengembara. 

Tzuyu menghentikan langkahnya dan kami berada di atas jalan layang. Dari atas sini kami bisa menangkap setiap mobil yang berada di jalanan dan gedung-gedung tinggi yang berkelip-kelip. 

Tzuyu menghembuskan napasnya dengan lembut. 

Kemudian kami saling berhadapan. Tzuyu memejamkan matanya. "Aku rasa semuanya sudah cukup jelas. Kita sudah menceritakan perasaan masing-masing. Kau telah menceritakan pengalamanmu dan kau juga telah membaca surat-suratku. Jadi aku ingin memastikan-" 

Tzuyu membuka matanya. Telinganya merah menyala, wajahnya juga tegang. 

Sepertinya aku tahu arah pembicaraan ini. Sebelum Tzuyu terlanjur kecewa aku harus segera menceritakan satu rahasia lagi padanya. 

Ketika Tzuyu ingin mengeluarkan kata itu. 

"Tunggu Tzuyu!." 

Dia menatapku dengan terkejut. Dia mungkin kecewa karena perkataannya aku potong.

Aku menunduk. Jujur saja aku juga kecewa dengan perbuatanku di masa lalu. Tapi bagaimanapun juga Tzuyu berhak mengetahui semuanya. Semuanya. Entah dia akan membenciku setelahnya. 

"Dulu kamu pernah bertanya, mengapa aku tidak pernah bisa pulang?, dan mengapa aku tidak bisa lagi ke Jepang. Sebenarnya..Tzuyu..aku.."

"Ada apa San?, katakanlah..apa yang membuatmu ragu?."

"Tzuyu..aku.." 

Tzuyu mengusap pipiku. "Tidak apa San, katakanlah."

Aku menggeleng, leherku serasa tercekik. "Tzuyu kamu mungkin akan membenciku."

Tzuyu menggeleng dengan cepat. "Aku mungkin saja marah dan sedih tapi aku tak akan meninggalkanmu lagi. Tidak!." Dia menepuk kedua pipiku dengan lembut. Ia kemudian mengusap cairan bening di ujung mataku. 

Semakin malam semakin lama semakin udara dingin menusuk pori-pori kulit. Bibirku terasa kering. Kata-kata itu terasa menyangkut di tenggorokan. 

Aku mengepalkan kedua tanganku. Suaraku keluar dengan nada yang mencuat karena aku tak dapat mengendalikannya. 

"TZUYU AKU SUDAH MENIKAH."

Senyap.

Tak ada suara mesin mobil yang terdengar lagi. Tak ada suara langkah kaki dan keributan di jalanan yang terdengar. Hanya jeritan dari dalam diriku yang berusaha mati-matian kutelan.

Tzuyu terdiam mematung.  

Aku tidak berani untuk menatapnya. 

"Aku pergi dari rumah setelah gagal melahirkan anaknya. Kami masih sangat muda waktu itu."

"Apa kau masih mencintainya?." Tzuyu menatapku dengan sendu. "Jawab aku SANNN!" Nada suaranya meninggi. 

"Aku tidak tahu. Aku terlalu takut untuk mencari tahu."

Tzuyu mendongak ke langit, ia melangkah menuju pagar jalan dan menyokong tubuhnya di sana. 

 Aku melangkah mendekatinya. "Maafkan aku."

Tzuyu berbalik dan melihatku. Dia meraih tanganku. "Ayo!" . 

Ia mengusap air matanya. "Aku akan mengantarmu menemuinya. Kamu akan tahu perasaanmu yang sebenarnya setelah pulang San. Kau tidak boleh menghindar lagi. Kamu harus pulang ke Jepang dan mencari tahu perasaanmu itu."

"Tzuyu.." Aku menatapnya dengan kabur karena cairan bening yang menggenang di mataku. 

"Aku tahu perasaan rindu dan ketertarikanmu padaku memang nyata. Dan aku juga tahu ada dua hal yang saling bertabrakan dalam dirimu. Antara aku dan masa lalumu. Aku memang marah San, karena kamu meragukan cintamu terhadapku. Tapi aku berjanji padamu apapun pilihanmu nanti aku akan selalu mendukungmu."

"Terima kasih Tzuyu."

"Sebelum aku benar-benar kalah, bolehkah aku menciummu sekali saja?."

"Tzuyu..apa kau sudah menyerah?." Aku mengusap air mata di pipinya.

"Aku tidak akan membiarkan 'menyerah' menguasaiku." Dia tertawa singkat dalam kesedihan itu. 

Aku mengelus pucuk kepalanya. 

Dengan sedikit menjinjit aku berusaha meraih bibirnya. 

Kecupan singkat itu dibalas olehnya dengan lembut. 





"The Lost Traveller" #SATZUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang