Undecided

390 43 14
                                    

"Jaemin, ayolah jangan marah. Kita tidak bermaksud untuk membuatmu malu." 

Setelah pulang sekolah, mereka berlima terus membujuk Jaemin yang tampak masih kesal akibat kejadian di kelas yang membuatnya merasa ingin menghilang dari suasana ricuh pada saat itu.

Jaemin terus diam dengan tangan di lipat di dada, wajahnya hampir cemberut saat bibir bawahnya sedikit menonjol. Haechan di samping Jaemin, mencoba meraih lenganya namun selalu di tolak.

"Maafkan kita oke? Aku janji hal ini tidak terjadi lagi padamu." Bujuk Haechan lagi-lagi. Namun Jaemin hanya memalingkan wajah kesal darinya.

Renjun dan Lu Yang saling tatap memperhatikan upaya Haechan untuk membujuk Jaemin, mereka berdua hanya bisa menggidikan bahu tak acuh.

"Aku merasa urat malu ku sudah putus." Guman Jaemin dengan nada lantang namun lirih.

Haechan meraih lenganya, sekali lagi. Jeno memperhatikan usaha nya yang sia sia dan memutuskan untuk mendorong Haechan menjauh. Dia raih bahu si kulit tan tersebut dan menariknya ke belakang. "Kau membuat suasana hati Jaemin memburuk." Bisiknya parau.

Haechan menunduk murung, merasa tersingkir, beban pikiranya terpenuhi oleh Jaemin. Kadang dia memang senang berkelahi denganya namun hanya karena masalah kecil, Haechan benar-benar tidak bermaksud membuatnya marah.

Jeno menggantikan posisi Haechan di samping Jaemin, dia melingkarkan lengan di bahu Jaemin dan menariknya mendekat hingga lengan mereka bersentuhan. Jaemin masih tetap enggan menatapnya, kesal karena sudah di permalukan.

"Jangan marah, aku akan mengajakmu untuk makan hotpot." Bujuk Jeno, namun hanya ada dengusan kesal dari Jaemin sebagai respon. "Kau pikir aku akan luluh hanya karena makanan?" Balas Jaemin.

"Tidak, kau luluh saat di ranjang." Ujar Jeno dengan seringai kecil, Jaemin langsung menoleh mendorong dada Jeno hingga tersandung kebelakang.

Renjun, Lu Yang dan Haechan hanya bisa memperhatikan dari belakang, sebelum mereka memilih jalan yang berbeda dan menyisahkan mereka berdua di jalan yang tampak sepi.

Saat mengetahui hanya ada mereka berdua yang tersisa, Jaemin menjaga jarak darinya membuat dia terkekeh pelan karena usahanya untuk mendorongnya menjauh. Tapi bukan Jeno namanya jika tidak menekan tombolnya lebih jauh.

"Ayo, aku serius untuk mengajakmu makan hotpot. Ada sisa uang dari hasil aku membantu paman jihoo." Jeno mendekat dengan senyum manisnya yang biasa.

Jaemin menoleh memeriksa tanda curiga atas ajakanya, tapi kelihatanya pria itu tulus mengatakanya. Dengan helaan nafas lelah Jaemin hanya bisa mendekat tanda dia mengiyakan ajakanya.

Sudut mulut jeno terangkat, tanganya terulur kebawah tanpa peringatan jarinya bertautan dengan jari jaemin sebelum menggenggamnya dan mengunci jari mereka.

Jaemin menoleh, alisnya bertaut bingung tapi dia tidak mendorongnya menjauh lagi. Hanya menikmati perasaan cara jarinya mengunci jarinya. Sensasi kulit hangatnya menempel pada kulitnya.

Pada saat itu, perjalanan menuju kedai hotpot adalah hal yang pertama kali Jaemin rasakan ketulusan pria itu, murni tanpa pemaksaan tidak seperti sebelumnya dengan tindakan sembrono nya.

Akhirnya Jaemin tahu bahwa Jeno bukan hanya bernafsu padanya namun juga menyukainya secara tulus, tapi entah kenapa hatinya bimbang untuk menerimanya.

Sesampainya pada kedai hotpot mereka berdua duduk pada kursi kosong dan di sana. Jeno sudah memesan dua mangkuk hotpot untuk mereka berdua.

Setelah pesanan datang, mereka sama menikmati hangatnya hidangnya tersebut. Memakanya dengan damai di ramainya pengunjung di sana.

Beberapa saat setelah keheningan, Jeno mendongak dari semangkuk hotpotnya yang hampir kosong. Menatap kearah Jaemin yang sedang makan dengan damai. Dia tersenyum sebelum meraih gelas dan mengisinya dengan secangkir air putih, menggesernya si hadapan Jaemin.

Fate | NominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang