Asa Jafur Erik, Bukan Dia

1.4K 116 16
                                    

Asa pernah membaca salah satu artikel saat sedang mencari jawaban dari tugas sekolahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Asa pernah membaca salah satu artikel saat sedang mencari jawaban dari tugas sekolahnya. Katanya, seorang ibu itu layaknya jantung di dalam rumah. Ketika ia berhenti bekerja, maka berhentilah semua kehidupan yang ada di dalamnya. Dan Asa pikir itu memang benar, sebab setelah ibu pergi meninggalkannya, kehidupan di dalam rumah yang ia tempati mulai mati secara perlahan. Tidak ada lagi kehangatan yang bisa ia rasakan, hanya dingin yang senantiasa memeluk raganya hingga menggigil kedinginan.

Seperti sore ini misalnya. Ketika Asa mulai membuka pintu rumah secara perlahan, bukan lagi sambutan hangat yang ia dapatkan, melainkan kehampaan serta ruang dingin yang menyambutnya, dan itu sudah berlangsung sejak dua tahun lamanya.

Dulu, di jam seperti ini Asa akan selalu menemukan ibu berada di dapur untuk memasak makan malam. Memotong sayur dengan keadaan kompor menyala layaknya seorang koki yang sering Asa tonton di televisi. Lalu ketika mereka beradu pandang, ibu akan selalu tersenyum dan bertanya, "Ada cerita apa hari ini?"

Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kenangan hari ini. Tidak ada lagi pertanyaan remeh yang ia dengar setelah seharian berada di luar, tidak ada lagi pelukan hangat di saat ia kedinginan. Semua itu hilang, karena kecelakaan yang berhasil merenggut ibu darinya.

Terkadang, ketika Asa merasa rindu ia akan selalu berandai-andai: Andai dulu ia tidak berangkat ke sekolah karena demamnya baru saja turun, ibu pasti tidak akan terlalu mengkhawatirkannya. Andai dulu ia bisa menahan diri dan tidak menelepon ibu saat hujan deras, mungkin ibu tidak akan memaksakan diri untuk menjemputnya di sekolah. Andai, kata itu akan selalu merangsek ke dalam kepala setiap kali ia sendirian, membuat perasaan bersalah yang bersarang di dalam dirinya kian pekat. Dan itu akan semakin terasa setiap kali melihat tatapan benci dari kakaknya.

Setelah dua bulan sejak umur kakaknya menginjak 17 tahun, laki-laki itu memutuskan untuk pergi dari rumah dan lebih memilih tinggal di apartemen yang ayah berikan. Sebab katanya, ia terlalu muak walau hanya melihat wajah Asa. Namun, tanpa diduga-duga, sore ini Asa kembali melihatnya. Gibran Raka Nugraha-saudara satu-satunya itu kini tengah berdiri di depan pintu dengan tatapan yang berhasil membuat sekujur tubuhnya menggigil.

Tanpa mengatakan apa pun, laki-laki yang masih memakai seragam sekolahnya itu berjalan melewatinya menuju lantai dua. Tidak ada kata sapaan dan senyum hangat yang Asa terima layaknya seorang saudara yang sudah lama tak berjumpa, hanya ada tatapan benci yang Asa dapatkan tanpa kata rindu sebagai pemanisnya.

Karena hari sudah semakin sore dan malam akan segera tiba, Asa memutuskan untuk menaiki anak tangga. Membuka kamar miliknya yang berada tepat di samping kamar sang kakak.

Jika ditilik lebih dalam, rumah ini telah mengalami banyak perubahan. Isi kulkas yang biasanya penuh bahan makanan, hanya terdapat beberapa telur dan air saja. Jika dulu di atas meja selalu ada buah-buahan segar, maka kini hanya ada telapak mejanya saja. Bunga-bunga di depan rumah bahkan sudah lama mengering dan mati, seolah mengikuti jejak si pemilik.

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang