Merayakan Sendirian

611 86 5
                                    

Nasi sudah menjadi bubur, mungkin itu adalah peribahasa yang cocok untuk keputusan Asa sekitar lima bulan lalu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nasi sudah menjadi bubur, mungkin itu adalah peribahasa yang cocok untuk keputusan Asa sekitar lima bulan lalu. Karena ketika ia mengizinkan ayah untuk menikah lagi agar hidup lebih bahagia, Asa pikir ayah akan membagi kebahagiaan dengan dirinya juga. Namun, bukannya bahagia yang Asa terima, ia justru mendapatkan kehampaan luar biasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Janji yang terucap pada malam ketika ayah meminta izin, nyatanya hanya sebuah omong kosong belaka. Tidak ada satu pun yang ayah buktikan. Asa pikir ketika ayah sudah menikah nanti, mereka akan tetap tinggal dalam satu atap. Namun, nyatanya ayah justru pergi ke rumah istri barunya, meninggalkan Asa sendirian di rumah dengan berjuta-juta kenangan yang tersimpan di dalamnya. Ayah bahkan memberikan kartu kredit yang entah disiapkan sejak kapan untuk keperluan sehari-harinya. Agaknya, ayah memang sudah lama menyiapkan itu semua, karena ayah tahu jika Asa tidak akan pernah bisa meninggalkan rumah.

Dan seolah belum cukup sampai di sana, kasih sayang yang Asa terima dari ayah harus berkurang. Mengingat istri baru ayah memiliki anak yang usianya satu tahun di atas dirinya. Asa sampai bertanya-tanya, masih adakah stok kasih sayang yang ayah punya untuknya? Sebab sudah tiga bulan ini, ayah tak lagi menginjakkan kaki di rumah. Ayah juga semakin sulit untuk dihubungi. Agaknya, kalau Asa tak memulai lebih dulu, mungkin komunikasi yang terjalin di antara mereka hanya sebatas ketika ayah mengirimkan uang saja.

Seperti sore ini misalnya, ketika Asa meletakkan tas sekolahnya di sofa ruang tengah, ponsel yang berada di saku celananya berdering beberapa kali—menampilkan nama ayah yang sudah lama tak ia lihat selama tiga hari terakhir.

"Ayah sudah kirim uangnya untuk dua minggu ke depan. Kamu atur uangnya untuk bayar SPP sama keperluan yang lain. Ayah sudah lebihkan uangnya, jadi kamu atur sebaik-sebaiknya." Itu adalah kalimat panjang yang ayah ucapkan ketika Asa mengangkat panggilan. Tidak ada salam hangat karena sudah lama tak berbicara dengan anak bungsunya. Tidak ada pertanyaan remeh seperti apa kabar atau sedang apa layaknya orang tua yang ingin tahu mengenai anaknya. Ayah akan selalu seperti itu, berbicara langsung pada inti karena kesibukan selalu menyita waktu mereka barang hanya untuk berbasa-basi.

Dan Asa, hanya bisa mengatakan iya sebagai jawaban. Di saat-saat seperti ini, tak jarang otaknya berpikir cepat agar panggilan tak langsung diputus. Ia akan selalu mencari cara agar bisa berbicara lebih lama dengan ayah, meskipun pada akhirnya yang terucap hanyalah keinginan kecil seperti, "Ayah bisa pulang dulu buat jengukin Asa?"

"Memangnya Asa sakit?"

Seketika Asa tersenyum sumir, mendudukkan dirinya di sofa. Dalam hening yang tak terlalu lama itu, Asa jadi bertanya-tanya. Apakah kata yang baru saja ia ucapkan salah? Apakah kata 'Menjenguk' hanya cocok dipakai untuk orang yang sedang sakit saja? Lalu, apakah jika ia berkata sedang sakit, ayah akan langsung pulang?

Akan tetapi, Asa tidak bisa melakukannya. Berusaha untuk selalu menjadi anak baik saja ayah tak pernah melihat dirinya, apalagi jika ia menjadi nakal dan berbicara dusta. Jadi setelah membasahi bibirnya, Asa lebih memilih untuk berkata, "Asa sehat, tapi Ayah sudah lama nggak pulang."

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang