Pulang

455 72 11
                                    

Arian mengembuskan napas panjang, tatkala kursi roda yang ia duduki berhenti di taman rumah sakit tepat di bawah pohon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Arian mengembuskan napas panjang, tatkala kursi roda yang ia duduki berhenti di taman rumah sakit tepat di bawah pohon. Setelah beberapa hari mendekam di dalam ruang rawat, akhirnya hari ini ia diperbolehkan untuk menghirup udara luar.

Pagi itu, langit tampak cerah. Beberapa pasien, terlihat sedang berjalan-jalan dan duduk ditemani oleh keluarganya. Sama seperti Arian, yang saat ini ditemani Ayah karena Mama sedang pulang ke rumah.

"Ayah mau ke toilet bentar, ya?"

Mendengar pertanyaan Ayah yang sedari tadi berdiri di belakangnya, Arian mengangguk pelan. Hingga akhirnya, ketika ia mendengar suara langkah kaki menjauh, barulah Arian menoleh hanya untuk menemukan Ayah yang saat ini sedang berbicara dengan seorang perawat tak jauh dari tempatnya duduk. Arian tebak, Ayah pasti meminta perawat laki-laki itu untuk mengawasinya selagi sendirian.

Jika melihat Ayah yang seperti ini, Arian rasanya ingin menyangkal semua fakta malam itu. Di mana ia mengetahui kebenaran yang kedua orang tuanya tutupi selama ini. Dan jika dipikir lagi, makian yang ia terima selama ini ternyata memang benar, bahwa ia hanyalah anak haram. Kehadirannya bahkan hanya sebuah kecelakaan. Padahal sedari dulu, ia selalu mencoba untuk menutup telinga dan berpikir bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentang dirinya. Namun, hari ini ia justru merasa bahwa dirinyalah yang tak mengetahui apa pun mengenai hidupnya.

Gibran benar, ia adalah anak haram.

Dengan hela napas yang terdengar berat, Arian menyandarkan punggungnya. Kedua matanya memejam, merasakan udara pagi yang masih terasa segar. Namun, tak lama mata itu kembali terbuka tatkala mendengar suara dari seseorang yang cukup ia rindukan.

"Abang Ari?"

Sekarang bisa Arian lihat, adiknya yang berdiri di hadapan dengan seulas senyum yang membuat pipinya semakin bulat. Penampilan anak itu tidak seperti biasanya, tentu saja. Karena selain baju yang Asa kenakan sama dengan dirinya,  sebuah tiang infus juga berada tepat di sampingnya. Arian jadi bertanya-tanya, apakah Asa kabur dari ruang rawat?

"Lo ngapain di sini?"

"Jalan-jalan sebentar, Asa bosen di ruangan, nggak ada temen, isinya orang tua semua," jawab anak itu, lantas mendudukkan dirinya di kursi panjang yang memang ada di samping kursi roda Arian.

"Gibran ke mana?"

"Abang sekolah, karena absennya sudah terlalu banyak, takut Ayah marah. Tapi nanti sore bakalan ke sini lagi, Asa sudah boleh pulang soalnya. Asa nggak tahu kalau Abang Ari juga dirawat di sini. Sekarang kondisi Abang Ari bagaimana? Sudah mendingan?"

Arian tak bisa untuk menyembunyikan senyuman mendengar jawaban Asa, bahkan kini ia menggerakkan kursi rodanya agar posisi tubuhnya menghadap Asa sepenuhnya.

"Gue udah mendingan, besok atau lusa, gue juga bisa pulang."

"Syukurlah." Asa mengangguk, memperhatikan tangan kirinya yang terasa bengkak karena diinfus.

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang