Masa Berkabung

358 71 29
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asa menghela napas, mendapati centang satu pada pesan yang baru saja ia kirimkan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Asa menghela napas, mendapati centang satu pada pesan yang baru saja ia kirimkan. Ini sudah satu minggu sejak kepergian Abang Arian dan sudah selama itu pula, Asa belum bertemu dengan Ayah, bahkan mendapatkan balasan dari pesan-pesan yang ia kirimkan pun tidak. Entah ke mana perginya Ayah, sebab setiap kali Asa datang ke rumah. Ia hanya akan bertemu Mama tirinya.

Di pagi ini, sama seperti pagi-pagi sebelumnya, Asa berharap Ayah akan membaca semua pesan yang ia kirimkan. Bukan tanpa alasan. Selain karena rasa khawatirnya yang semakin menumpuk, ia juga tidak bisa pergi ke rumah Ayah sesuka hati seperti dulu. Sebab setelah mendapatkan diagnosis penyakitnya seminggu lalu, Asa jadi mudah lelah. Tidak bisa mengendarai sepeda terlalu lama seperti biasanya karena napasnya akan terasa sesak. Beruntungnya, Abang Gibran memilih untuk tinggal kembali di rumah sehingga Asa bisa menumpang setiap kali akan pergi ke sekolah.

Asa harap Ayah cepat membaik, lalu bisa hadir di acara kelulusan Asa nanti.

Meski masih tergolong lama bahkan ujian pun belum dimulai, nyatanya kalimat itu seringkali Asa ucapkan dalam hati sebagai permohonan. Sebab katanya, ada beberapa doa yang membutuhkan waktu lebih lama untuk dikabulkan oleh Sang Pemilik Semesta. Sungguh, Asa benar-benar ingin Ayah datang. Selain karena ibu sudah tidak ada, Asa ingin Ayah mendengar langsung bagaimana namanya dipanggil ke depan untuk menerima medali kelulusan. Hanya itu, tidak lebih.

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang