Belajar Mandiri

463 61 11
                                    

Masih terhitung pagi ketika Asa selesai memakan roti untuk mengganjal perut hingga siang nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Masih terhitung pagi ketika Asa selesai memakan roti untuk mengganjal perut hingga siang nanti. Bahkan bi Hanum baru saja datang tepat saat Asa mengeluarkan sepeda dan memutuskan untuk mengayuhnya keluar dari pekarangan—tentu setelah menyempatkan diri menyapa bi Hanum yang tengah mengambil sapu di sudut garasi.

Sudah sekitar lima bulan, tepatnya setelah ayah menikah lagi. Rutinitas Asa akan selalu seperti ini. Bangun di pagi hari, mengirimi ayah dan kakaknya pesan singkat agar mereka tak lupa sarapan, membuat susu dan mengolesi roti menggunakan selai cokelat serta menyapa bi Hanum sebelum berangkat ke sekolah.

Awalnya Asa memang kesulitan. Karena setelah ibu pergi, meskipun ayah tak terlalu peduli, ayah masih mau mengoleskan selai pada roti untuk dirinya sebelum berangkat ke kantor. Namun, karena setelah menikah ayah lebih memilih untuk tinggal di rumah istri barunya, mau tak mau Asa harus mandiri dan melakukan semuanya seorang diri. Beruntung, ayah masih mempekerjakan bi Hanum untuk membereskan rumah setiap pagi.

Matahari mulai meninggi ketika Asa mengayuh sepeda birunya melewati perempatan jalan menuju sekolah. Tak jarang ia bertemu dengan teman sekelas yang diantar oleh ayahnya, entah itu menggunakan motor ataupun mobil. Sempat singgah di hati rasa iri setiap kali melihatnya. Sebab sejak ia duduk di bangku pendidikan, ayah tak pernah sekalipun mengantarkan. Membuat ia terkadang membayangkan, bagaimana rasanya?

Menggeleng pelan, Asa memilih untuk mengayuh sepedanya lebih cepat. Hari sudah semakin siang dan ia harus cepat-cepat sampai di sekolah. Memikirkan semua perlakuan ayah hanya akan membuat perasaannya memburuk dan Asa tidak mau memulai harinya dengan hati yang membiru. Namun, tak lama kerutan di dahinya timbul. Sebab sepeda yang sedang ia kayuh semakin lama semakin berat, membuat ia memutuskan untuk berhenti dan mengeceknya.

Satu embusan napas keluar setelah Asa melihat ban depan sepedanya yang kempes seperti minggu lalu.

"Kenapa harus bocor sekarang, sih?" Tangannya bergerak menggaruk kepala. Matahari sudah cukup tinggi, bel masuk pasti akan segera berbunyi, dan Asa tidak mungkin meninggalkan sepedanya di sini. Apa yang harus ia lakukan?

Karena tak tahu harus meminta pertolongan pada siapa, pun tidak ada satu pun orang yang dikenalnya melewati dirinya, mau tak mau Asa menelepon ayah.

"Halo, Ayah—"

"Kenapa Asa?"

Seperti biasa, suara berat ayah selalu membuat jantung Asa berdebar. Ada rasa segan untuk meminta bantuan karena sejak kecil Asa selalu mendapat penolakan. Ayah tak pernah mengulurkan tangan seperti yang ibu lakukan. Jadi setiap kali ingin meminta pertolongan pada ayah, Asa akan berakhir ketakutan. Tetapi kali ini berbeda. Asa tidak mau mendapatkan hukuman karena terlambat masuk sekolah. Asa sudah kelas tiga dan satu point bisa sangat memengaruhi nilainya. Kalau sudah seperti itu, ayah pasti akan kecewa dan Asa tidak mau menghadiahkan rasa itu pada ayah.

"Ban sepeda Asa bocor di jalan. Asa boleh minta jemput?"

Mendengar embusan napas dari seberang, Asa menggigit bibir. Ia siapkan hatinya untuk menerima penolakan kembali. "Ayah sedang sibuk, Asa. Sebentar lagi ada meeting. Kamu pesan ojek online atau taksi saja."

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang