Hasil

307 54 4
                                    

Pukul empat sore lewat lima belas menit, begitu yang Asa lihat setelah menyipitkan kedua matanya pada jam yang tertempel di dinding ruangan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pukul empat sore lewat lima belas menit, begitu yang Asa lihat setelah menyipitkan kedua matanya pada jam yang tertempel di dinding ruangan.

Seharusnya, Abang Gibran sudah pulang
sekarang. Mengingat selama ini, kakaknya itu tipikal orang yang akan datang terlambat dan pulang lebih awal daripada yang lainnya. Belum lagi, Abang Gibran bukanlah seseorang yang aktif di dalam organisasi maupun ekskul sekolah. Bermain basket pun saat ingin saja. Jadi seharusnya, Abang Gibran sudah berada di perjalanan pulang sekarang.

Namun, setelah menunggu sekitar sepuluh menit lamanya tak ada tanda-tanda Gibran akan pulang, Asa mulai resah. Selain karena pesan terakhir yang ia kirimkan tadi siang hanya dibaca, dokter Mirza—dokter yang menangani dirinya—yang Asa baru ketahui ternyata teman ayah, berkata bahwa beliau ingin berbicara dengan Asa dan Abang Gibran secepatnya.

Asa penasaran, sekaligus takut secara bersamaan. Jadi tanpa pikir panjang, ia memutuskan untuk menelepon kakaknya itu untuk segera datang.

"Halo, Abang?" Begitu sambungan telepon tersambung. Dahi Asa tak lama mengernyit, tatkala mendengar suara yang cukup riuh dari seberang sana. Tak lama, terdengar suara Ken yang bertanya pada kakaknya. Asa tebak, kakaknya itu masih berada di sekolah. Karena beberapa kali Asa mendengar suara teman-teman Abang Gibran yang berpamitan.

"Kenapa?"

Saat suara itu menyapa, Asa yang sedang memangku sebuah semangka yang sudah dipotong menjadi dua bagian dan hendak memakannya menggunakan sendok pun terkesiap. Jujur saja, suara Abang Gibran selalu mengingatkan Asa pada Ayah. Terdengar ketus dan berat.

"Abang masih lama?" tanya Asa, setelah berdeham beberapa kali. Namun, karena lagi-lagi Asa mendengar Gibran tengah berbicara dengan temannya, ia memutuskan untuk kembali memakan semangka sembari menunggu jawaban.

"Ini mau jalan. Kenapa?"

"Tadi Dokter Mirza bilang mau kasih tahu sesuatu, tapi harus ada Abang."

"Kayanya mau kasih tahu hasil tes, lo. Nanti gue langsung ke sana, mau nganterin Ken ke bengkel dulu."

"Cepet ya, Abang. Asa takut." Anak itu menggigit sendok yang ia gunakan untuk memakan semangka. Asa tidak bohong, ia memang takut sekali setelah menjalani pemeriksaan. Bahkan pikiran-pikiran buruk mulai menyerbu setiap kali ia sendirian, padahal Asa sudah berusaha keras untuk mengenyahkannya.

"Takut kenapa? Biasanya juga sendirian."

"Kalau Asa sakit parah gimana? Kalau umur Asa nggak lama lagi, gimana?"

Saat pertanyaan itu terlontar, baik Asa maupun Gibran sama-sama terdiam. Asa tidak tahu bagaimana ekspresi Abang Gibran sekarang. Apakah sedang menampilkan ekspresi datar seperti biasanya, atau justru tengah menertawai dirinya. Namun, satu hal yang pasti, Asa merasa sangat resah dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi.

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang