Berbagi Rahasia

399 70 15
                                    

Gibran terbangun tepat saat alarm di ponselnya berbunyi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gibran terbangun tepat saat alarm di ponselnya berbunyi. Hari masih sangat pagi, matahari bahkan belum sepenuhnya menunjukkan eksistensinya. Namun, karena semalam ia menginap di rumah, maka mau tak mau ia harus bangun lebih pagi daripada biasanya. Sungguh, bukan Gibran sekali. Kalau saja semalam ia tak mendengar Asa batuk terus-menerus, ia mungkin akan langsung pulang tepat setelah Asa masuk kamar.

Melihat jam di ponselnya yang menunjukkan angka enam, Gibran mendengkus, mengusap kasar rambutnya. Rasanya, ia ingin tertidur lagi jika saja tak ingat bahwa seragam sekolahnya berada di apartemen semua. Dengan perasaan berat dan mata yang masih ingin terpejam, anak itu bangkit lalu membuka pintu kamar. Ia arahkan kakinya menuju kamar sebelah dan mengetuk pintu cokelat itu dengan pelan.

"Sa ... gue pulang," katanya, dengan kepala yang disenderkan ke pintu. "Lo nggak usah sekolah, deh. Ntar gue bilang ke pacar lo."

Karena tak kunjung mendapat balasan, Gibran menghela napas. Anak itu pasti masih tertidur, mengingat semalam batuk terus dan membuatnya kesulitan untuk memejamkan mata.

Namun, mengingat jika dirinya juga harus segera pulang untuk bersiap-siap ke sekolah dan membeli sarapan, ia memutuskan membuka kamar Asa tanpa permisi. Lebih baik ia memeriksa anak itu sebelum pergi. Namun, melihat Asa yang membungkus dirinya dengan selimut tebal, hanya menyisakan bagian atas kepalanya, Gibran segera mendekat. Ia singkap selimut yang menutupi kepala adiknya hingga terpampang wajah Asa yang sudah pucat.

"Sa, hey ...." Gibran menepuk pipi adiknya yang terasa hangat. "Apa yang lo rasain?"

"Abang." Suaranya terdengar lirih dan parau. "Dingin."

Detik itu juga, Gibran hanya bisa menghela napas. Kakinya ia langkahkan ke arah lemari untuk mengambil jaket dan kaos kaki, kemudian ia taruh di samping tubuh Asa.

"Bangun, pake ini, kita ke dokter," katanya. Asa hanya mengangguk, tidak mau membantah karena demi apa pun tubuhnya terasa lemas. "Gue mau panasin motor dulu, nanti lo langsung turun ke bawah aja, bisa?"

Lagi, Asa hanya mengangguk. Tenggorokannya terasa tak nyaman, hidungnya pun terasa tersumbat, sehingga Asa tak mau menghabiskan energinya untuk berdebat seperti biasanya. Bahkan ketika kepalanya ditepuk dua kali oleh Gibran sebelum akhirnya keluar dari kamar pun, Asa membiarkannya begitu saja dan mulai bangun dengan susah payah.

Sementara Gibran yang sudah menuruni anak tangga dan hendak menuju ke garasi, memilih untuk membelokkan langkahnya sehingga kini, ia berada tepat di depan pintu kamar ibu yang sudah lama tak ia masuki.

Cukup ragu Gibran untuk masuk. Namun, karena tak mau membuat Asa sampai menunggu, ia memberanikan diri membuka pintu. Dan seperti yang ia bayangkan sebelumnya, perasaan itu kembali datang. Sesak itu menyergap dada dan bergumul sehingga untuk bernapas saja, Gibran merasa sangat kesulitan. Matanya bahkan kini sudah memburam sehingga tanpa membuang waktu lagi, ia berjalan cepat dan membuka lemari yang sudah lama tertutup rapat. Ia ambil salah satu selendang batik milik ibu, kemudian melangkah keluar untuk memanaskan motornya.

Perihal AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang