Sejak ibu pergi, Asa sudah terbiasa sendiri. Apa lagi ketika ayah menikah lagi, Asa dituntut untuk menjadi anak yang mandiri. Mengolah keuangan sendiri, membeli keperluan sendiri, dan membuat sarapan untuk dirinya sendiri.
Jadi, ketika ia menemukan dua lembar roti yang sudah diolesi selai cokelat di atas meja, disusul segelas susu putih yang baru saja bi Hanum letakkan, Asa justru kebingungan. Ia bahkan hanya terdiam beberapa saat—tak buru-buru memakannya mengingat waktu terus berjalan dan Asa harus pergi ke sekolah menggunakan sepeda. Di mana ia membutuhkan waktu lebih lama untuk sampai di sekolah dibandingkan anak yang lainnya.
"Kenapa nggak dimakan?" tanya bi Hanum. Senyum hangatnya terbit di wajah lelahnya yang mulai mengeriput. Kendati demikian, semangatnya untuk bekerja tak lekang oleh waktu. Terbukti dari Asa masih kecil hingga sekarang, bi Hanum masih terus bekerja. Dari rumah ke rumah untuk bersih-bersih dan mencuci pakaian di komplek ini.
Asa menggeleng, menarik kursi ke belakang untuk kemudian ia duduki dengan bibir yang menipis. "Seharusnya Bibi nggak perlu buat sarapan. Asa bisa buat sendiri," katanya, merasa sungkan karena memang tugas bi Hanum hanya sebatas membereskan rumah dan mencuci pakaian. Tidak sampai membuatkan sarapan.
"Enggak apa-apa atuh, Dek Asa." Bi hanum yang tengah mengelap meja dapur menggeleng pelan. Perempuan yang usianya sudah tak muda lagi itu menoleh sesaat hanya untuk memperlihatkan senyumannya. "Sekali-kali mah nggak pa-pa. Kan dulu juga waktu ibu masih ada, Bibi suka bantu-bantu ibu buat bikin sarapannya Dek Asa sama Mas Gibran."
"Kalau Ayah tahu, Asa pasti dimarahi."
Gerakan tangan bi Hanum yang tengah mengelap meja kontan berhenti. Ia tatap anak laki-laki tampan yang hanya diam di kursi dan belum menyentuh rotinya sama sekali. Sedikitnya, bi Hanum mengerti akan kerisauan yang tengah Asa rasakan saat ini. Sebab sedikitnya, bi Hanum juga tahu bagaimana perlakuan pak Adrian—ayah Asa pada anak bungsunya selama ini.
Jadi setelah menghela napas dan berusaha menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, bi Hanum berkata, "Enggak usah khawatir, Bapak nggak akan tahu. Bibi nggak akan laporan, jadi nggak usah khawatir." Dengan nada yang menenangkan, dengan senyum yang hangat. Meskipun dadanya terasa sesak dan kepalanya diisi beberapa macam bentuk pertanyaan. Bagaimana bisa Pak Adrian tak peduli pada anaknya dan membiarkannya tinggal sendirian di rumah yang cukup besar? Jangankan menginap, menengok saja tidak. Apakah tidak ada rasa kekhawatiran di dirinya sebagai orang tua?
"Begitu, ya." Asa tersenyum tipis, lantas mengambil satu lembar roti dan memakannya dengan gerak lambat. "Terima kasih ya, Bibi," sambungnya, dengan pipi menggembung dan mata berkaca-kaca.
"Terima kasih karena nggak laporan?"
"Terima kasih untuk sarapannya." Kali ini, senyum Asa naik sampai mata, bukan hanya di bibir saja. Karena setelah sekian lama, akhirnya hari ini paginya diisi dengan kebahagiaan. Paginya dirayakan dengan dua lembar roti dan segelas susu putih yang bi Hanum buatkan. Dan setelah sekian lama pula, ia merasa bahwa hadirnya kembali diterima, ia kembali pedulikan dan itu berhasil membuat jantungnya berdebar. Asa merasa bahagia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Asa
Teen Fiction"Asa, manusia itu nggak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jadi kalau suatu hari ayah atau Ibu melakukan hal yang nggak Asa suka. Asa bilang, ya?" "Asa nggak suka Ibu pergi ...." #Dipublikasikan pada hari sabtu, 03 agustus 2024 #Cover by Canva