Siang yang biasanya cerah, kali ini tampak mendung dengan angin yang berembus kencang. Seolah matahari ikut berkabung karena kepergian anak baik yang memilih mengalah setelah berjuang selama hidupnya.
Arian Nugraha, anak tengah Adrian itu mengembuskan napas terakhirnya kemarin sore di ruang ICU setelah kembali berjuang melawan sakitnya. Namun, sayangnya kali ini Tuhan tak memberi izin lagi untuk ia membuka mata seperti biasanya. Tugasnya telah selesai dan mau tak mau, ia harus pergi tanpa kalimat pamit yang lebih hangat untuk keluarganya.
Dalam jarak yang cukup jauh, Gibran hanya berdiri di samping motornya dengan tangan yang ia masukkan ke saku jaket. Tidak ada yang ia lakukan, selain menatap sekumpulan orang-orang berpakaian hitam yang saat ini tengah mengelilingi satu makam baru di depan sana.
Jika ditanya bagaimana perasaannya sekarang, Gibran pasti akan menjawab sama sedihnya. Ia memang tidak menyukai Arian, terlebih ibunya. Namun, tetap saja, tidak ada perpisahan yang terasa membahagiakan terlebih jika dipisahkan oleh kematian.
Dengan dada yang terasa sesak, ia mengembuskan napas susah payah. Suasana ini mengingatkannya pada hari terberat dalam hidupnya. Di mana ia tak bisa melihat lagi eksistensi orang yang ia cinta—ibunya.
Wajahnya memang terlihat datar, tetapi sorot matanya jelas menggambarkan bagaimana suasana hatinya sekarang. Sampai akhirnya, tatapanya kini mengarah pada rambut Asa yang bertebangan dan berdiri dengan jarak sekitar tiga langkah dari makam Arian.
Asa, seharusnya anak itu masih berada di rumah sakit sampai sore nanti. Menunggu hasil tes darahnya keluar dan mengetahui metode pengobatan yang harus ia jalani. Namun, karena semalam ia mendapat kabar duka secara mendadak, anak itu buru-buru ingin pulang. Asa bahkan nekat keluar dari ruang rawat tepat setelah sambungan telepon dari ibu tirinya berakhir. Beruntung, ada dokter Mirza yang melihatnya sehingga anak itu bisa dicegah dan dibawa kembali masuk ke ruangan.
Dan di pagi ini, setelah sekian lama Gibran kembali melihat Asa yang terlihat putus asa. Anak itu bahkan memohon untuk pulang, sampai akhirnya dokter Mirza mengizinkan dengan catatan, mereka harus kembali lagi besok siang untuk mengambil tes darah dan membicarakan pengobatannya.
Saat satu persatu-satu orang-orang mulai pergi karena prosesi pemakaman telah selesai, Asa masih diam di posisinya. Memilin ujung jaket yang ia gunakan dengan perasaan sedihnya. Dan hatinya semakin sakit ketika melihat Ayah yang menangis begitu hebat. Ia jadi bertanya-tanya, jika itu dirinya, apakah Ayah juga akan merasa sangat kehilangan?
"Sudah tenang ya, Nak? Udah nggak sakit lagi, ya?"
Samar-samar, Asa mendengar perkataan Ayah. Lalu kedua tangannya terkepal tanpa sadar saat kedua netranya menangkap deretan huruf membentuk nama Arian Nugraha.
Dalam waktu yang cukup lama, Asa hanya mendengar isak tangis ayah beserta mama tirinya. Lalu entah bagaimana jadinya, ia jadi teringat kata-kata Arian saat mereka bertemu di taman rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Asa
Teen Fiction"Asa, manusia itu nggak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jadi kalau suatu hari ayah atau Ibu melakukan hal yang nggak Asa suka. Asa bilang, ya?" "Asa nggak suka Ibu pergi ...." #Dipublikasikan pada hari sabtu, 03 agustus 2024 #Cover by Canva