Untuk pertama kalinya dalam sejarah Asa menempuh pendidikan, baru hari ini ia bangun terlambat. Ini semua gara-gara Asa tidak bisa tidur semalaman. Selain karena napasnya yang lumayan sesak, ia juga merasa kedinginan padahal AC di dalam kamar sudah dimatikan. Belum lagi, ia lupa menyetel alarm di ponsel. Beruntung, pintu kamarnya diketuk cukup keras oleh bi Hanum yang hendak mengambil pakaian kotor dan membereskan kamarnya. Kalau tidak, mungkin Asa akan jauh lebih terlambat lagi dari sekarang.
Namun sayangnya, mau secepat apa pun Asa bersiap-siap, pada akhirnya ia datang di saat gerbang sekolah sudah tertutup rapat. Sehingga ia harus dihukum memungut daun-daun kering di taman sekolah sebelum masuk ke kelas.
Matahari bersinar cukup terik pagi itu membuat Asa yang sebelumnya berdiri pun memutuskan untuk duduk, beristirahat sebentar di bawah pohon karena kepalanya terasa pusing dan perutnya mual bukan main. Ini pasti karena ia belum sarapan dan memasukkan apa pun ke dalam perutnya barang hanya setetes air. Sehingga asam lambungnya naik dan membuat tubuhnya terasa lemas.
Kalau saja ia menelepon abang Gibran dan memintanya untuk mengantar ke sekolah, ia pasti tidak akan terlambat. Namun, mengingat jika kakaknya itu juga harus ke sekolah pagi-pagi, Asa menggeleng pelan. Sebab tidak seharusnya Asa berpikir demikian dan merepotkan abang Gibran.
Melihat daun kering jatuh tak jauh dari tempatnya duduk, Asa mengambilnya dan memasukkannya ke dalam karung beras berukuran kecil di sampingnya. Ia juga mengelap keringat di sekitar leher menggunakan punggung tangan sebelum akhirnya berjingkat saat merasakan sebuah tepukan di bahunya, disusul panggilan, "Asa!"
"Riri?" Dahi anak itu berkerut heran. "Kok di luar, bukannya udah bel masuk, ya?"
Gadis yang hari ini rambutnya dikepang dua itu tak langsung menjawab, ia lebih dulu mendudukkan dirinya di samping Asa dan tersenyum cukup lebar. "Gurunya nggak masuk, jadi cuma dikasih tugas. Kamu ngapain duduk di sini?"
Asa kontan menunjuk karung berisi sampah dan daun-daun kering di sampingnya. "Dihukum, soalnya kesiangan."
Riri meringis, membayangkan lelahnya Asa yang harus memunguti daun-daun kering di bawah terik matahari. Memang, matahari pagi sangat bagus untuk tubuh. Tapi tetap saja, terpapar sinar matahari terlalu lama bisa membuat kepala terasa pening. Belum lagi, akhir-akhir ini sinar matahari terasa cukup panas meskipun hari masih cukup pagi.
"Pasti belum sarapan, ya?" tanya Riri, dan ketika melihat anggukan kepala Asa, bibirnya menipis dengan tangan yang menepuk-nepuk pucuk kepala anak laki-laki yang duduk di sampingnya. "Kasihannya ... mau aku beliin nasi nggak di kantin? Mumpung aku jamkos sampe dua jam ke depan."
Embusan napas Asa terdengar pelan. Anak itu terdiam dengan dahi mengkerut yang menandakan sedang berpikir. Kalau nasi, Asa tidak yakin akan habis. Selain karena ia tidak biasa sarapan dengan nasi, ini sudah sangat lewat dari waktunya sarapan. Perutnya juga sudah cukup mual jika harus dimasuki makanan. Jadi alih-alih mengangguk, ia lebih memilih untuk menggeleng pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Asa
Teen Fiction"Asa, manusia itu nggak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jadi kalau suatu hari ayah atau Ibu melakukan hal yang nggak Asa suka. Asa bilang, ya?" "Asa nggak suka Ibu pergi ...." #Dipublikasikan pada hari sabtu, 03 agustus 2024 #Cover by Canva