Manusia itu dinamis, selalu berubah seiring berjalannya waktu. Entah karena suatu peristiwa, atau desakan di mana dirinya harus berubah demi bertahan hidup di dunia yang keras.
Hari ini mungkin ia berkata iya, tapi siapa yang tahu jika besok atau lusa ia justru akan berkata tidak? Sama seperti Gibran. Dulu, jangankan mengangkat panggilan, membalas pesan yang Asa kirimkan saja bisa dihitung menggunakan jari dalam sebulan. Itu pun jika pesan tersebut berkaitan dengan uang.
Namun, sudah terhitung tiga hari ini si sulung Adrian itu tampak berbeda. Cara bicaranya memang masih sama, sikapnya masih sekeras sebelumnya. Hanya saja setiap kali Asa meneleponnya, panggilan langsung tersambung tak lama kemudian. Bahkan pesan singkat dan remeh yang biasa Asa kirimkan pun selalu dibalas. Tak cukup sampai di sana, pagi ini laki-laki kelahiran agustus itu bahkan menyelipkan kalimat hati-hati di jalan saat Asa berpamitan untuk pergi ke sekolah melalui panggilan teleponnya.
Senang? Jangan ditanya, Asa bahkan mulai merasakan kembali kasih sayang kakaknya itu meskipun tak sebanyak sebelumnya. Ia bahkan selalu menanyakan apakah dirinya boleh menginap atau tidak, meskipun pada akhirnya Gibran akan menolak mentah-mentah dengan alasan jarak antara apartemen dan sekolah Asa cukup jauh. Lagi pula Gibran juga merasa malas jika harus mengantarkan anak itu.
Hari sudah cukup sore untuk dikatakan siang, sebab jam pelajaran tambahan sudah selesai sekitar sepuluh menit yang lalu. Namun, begitu melihat Riri yang masih terduduk di pos satpam dengan hela napas panjang, Asa tersenyum tipis. Ia bawa sepeda birunya mendekat sebelum akhirnya memutuskan untuk memanggil, "Riri!"
Gadis itu menoleh, senyumnya terbit begitu lebar. Lantas berdiri sebelum berlari kecil menghampiri Asa. Rambut panjangnya yang dikuncir bergerak ke sana-kemari mengikuti langkahnya, dan itu terlihat sangat lucu di mata Asa.
"Belum pulang?" tanya Asa, yang kemudian dijawab menggunakan gelengan kepala.
"Mang Supri nggak bisa jemput." Pipinya menggembung lucu, membuat Asa tertawa pelan.
"Bareng sama Asa saja, nanti Asa anterin sampai rumah."
"Emang Asa kuat? Kata teman sekelasku, sekarang aku gendutan." Gadis itu memegangi pipinya yang memang terlihat lebih cubby daripada sebelumnya. Ia bahkan mendengkus ketika mengingat perkataan temannya yang terdengar sangat menyakitkan.
"Kuat, Asa itu laki-laki, sudah pasti kuat. Nanti kalau capek, tinggal mampir saja. Beli minum di indomaret," katanya. Lantas menepuk pundak kanannya dua kali agar Riri segera naik ke pijakan kaki yang memang terpasang di sisi roda belakang sepeda.
Sementara Riri, tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Gadis itu segera menaiki pijakan kaki di roda belakang sebelum menepuk pundak Asa dua kali seraya berseru, "Lets goo!!" Dengan tawa pelan, disahuti suara kekehan dari Asa.
Keduanya berlalu keluar dari area sekolah dengan laju sepeda tergolong pelan. Lalu menyusuri jalanan ibu kota dengan obrolan-obrolan yang tak penting. Lebih tepatnya, mereka berdua mengomentari mobil-mobil yang melintas serta beberapa pengendara motor yang mengendarai kendaraannya dengan ugal-ugalan. Riri bahkan menunjukkan jari tengahnya yang membuat Asa tertawa terbahak-bahak dengan napas yang mulai terengah-engah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Asa
Fiksi Remaja"Asa, manusia itu nggak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jadi kalau suatu hari ayah atau Ibu melakukan hal yang nggak Asa suka. Asa bilang, ya?" "Asa nggak suka Ibu pergi ...." #Dipublikasikan pada hari sabtu, 03 agustus 2024 #Cover by Canva