Sudah dua minggu sejak terakhir kali ayah mengirimkan uang. Dan seharusnya, di hari minggu ini Ayah kembali memberikan Asa uang karena bagaimanapun ia harus sarapan dan makan siang. Belum lagi roti yang biasa ia gunakan untuk sarapan sudah habis, hanya tersisa beberapa mie di dalam lemari.
Namun, karena ayah tak kunjung menghubungi, pun Asa merasa tak enak karena hari masih cukup pagi untuk menelepon ayah yang pasti tengah bersiap ke kantor, Asa memutuskan untuk mengitari seluruh kamar. Merogoh semua saku yang terdapat pada jaket, celana, atau baju yang tergantung di hanger. Barangkali ada beberapa koin untuk ia membeli sarapan, karena tidak mungkin Asa memakan mie di pagi hari.
Sebenarnya, Asa bisa saja menghubungi ayah. Mengingatkan ayah atas kewajiban dan hak miliknya. Namun, Asa tetaplah Asa. Anak yang selalu mementingkan orang lain lebih dulu, tidak peduli jika keadaan dirinya sedang carut-marut, Asa akan selalu seperti itu. Menunggu sampai ayah sadar daripada harus mengganggu karena Asa paham betul bahwa yang dipikirkan ayah bukan hanya dirinya, tetapi ada banyak dan Asa tidak mau menambah beban pikiran ayah.
Setelah berhasil menemukan beberapa koin, Asa tersenyum tipis. Ini cukup untuk membeli satu bungkus roti dan susu kotak berukuran kecil. Lalu tak lama kemudian, terdengar suara gerbang rumah yang dibuka, membuat Asa buru-buru keluar dari kamar hanya untuk menemukan pintu rumah yang terbuka dari luar hingga menampakkan eksistensi wanita paruh baya—itu bi Hanum, yang kemudian berjalan ke arah anak tangga dan tersenyum menatap ke arahnya.
"Alah-alah, udah rapi aja." Bi Hanum menepukkan tangan sekali tatkala berhadapan dengan Asa, wanita tua itu tersenyum lebar hingga keriput di wajahnya semakin terlihat. "Mau ke mana?"
"Mau olahraga," kata Asa, separuh berbohong dan separuh jujur. Ia bohong karena sebenarnya, ia ingin pergi ke luar untuk membeli roti. Tetapi, ia jujur karena mengayuh sepeda di pagi hari bisa dihitung juga sebagai olah raga. "Bibi mau ambil baju, ya?"
"Iya, Bibi ijin masuk ya?"
Asa mengangguk, sudut bibirnya terangkat hingga menciptakan sedikit cekungan di pipi. "Asa pergi dulu ya Bibi," katanya, dan setelah mendapatkan balasan dari perempuan paruh baya itu, Asa memutuskan menuruni anak tangga dan berjalan ke garasi untuk mengambil sepeda birunya.
Dengan senyum yang masih bisa terbit meski hatinya telah dihancurkan berkali-kali dan menerima berbagai macam bentuk rasa kecewa, Asa mengendarai sepeda birunya dengan kecepatan sedang. Ia hirup udara yang masih segar itu berkali-kali sambil sesekali memejamkan mata. Jalanan masih cukup sepi, matahari juga tertutup oleh awan pagi ini. Membuat Asa merasa jauh lebih segar setelah mengalami demam beberapa hari yang lalu.
Ketika sepeda yang ia kayuh melewati beberapa warung, Asa berpikir sejenak. Ia hentikan laju sepedanya untuk kemudian ia arahkan ke warung tersebut. Mungkin, akan lebih baik kalau ia membeli roti di warung saja daripada di indomaret. Selain karena jaraknya tak terlalu jauh dari rumah, roti yang dijual pun lebih murah. Paling tidak, Asa bisa mendapatkan dua roti jika beli di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Perihal Asa
Fiksi Remaja"Asa, manusia itu nggak pernah luput dari yang namanya kesalahan. Jadi kalau suatu hari ayah atau Ibu melakukan hal yang nggak Asa suka. Asa bilang, ya?" "Asa nggak suka Ibu pergi ...." #Dipublikasikan pada hari sabtu, 03 agustus 2024 #Cover by Canva