TAK - 23

412 33 0
                                        


***

Seharian Mika mendiamkan Steve karena ia sangat marah. Bagaimana bisa pria itu mengorbankan diri menjadi sandera dan tidak memberitahunya sedikitpun.

Saat Mika siuman untuk kedua kalinya, ia menuntut jawaban pada Keith yang senantiasa berada di sampingnya.

"Kau adalah bodyguardku, artinya kau harus setia padaku." Tuntutnya. "Cepat katakan atau lebih baik kau pergi saja. Dan jangan harap aku memberimu kesempatan lagi."

Setelah mendengar ancaman tersebut, sekalipun terlihat ragu Keith mengatakan seluruh rencana Steve.

Detik berikutnya, Mika langsung marah pada semua orang. Bukan hanya Steve tapi Mika tak bersedia didekati Zahira, Conrad dan yang lainnya. Karena bisa-bisanya mereka semua tahu dan dirinya tidak. Itu namanya penipuan besar!

Mika takkan memaafkan mereka begitu saja. Jika ia dengan mudah memaafkan, mereka tidak akan jera. Mika takkan mengizinkan mereka berbuat semacam itu padanya lagi. Tidak ada yang namanya kedua kali.

Sialnya, setelah siuman kemarin, Mika sering mual. Entah sudah beberapa kali ia harus ke kamar mandi karena ingin muntah. Sungguh melelahkan.

Sebenarnya ia ingin mogok makan, tapi niatnya batal karena dokter yang menanganinya berkata kalau saat ini dia hamil.

Hamil?

Yang benar saja?

Mika semakin kesal menyadari itu pasti ulah Steve. Pasti ada yang tidak beres saat ia memasang kontrasepsi saat itu. Bukan berarti ia tidak senang dengan kehamilannya. Membayangkan kalau Steve kecil sedang tumbuh di dalam perutnya membuatnya senang. Mika hanya benci karena menjadi pihak yang tidak tahu apa-apa.

Jadi, semarah apapun Mika, dia tetap makan untuk bayinya. Ia harus melampiaskan kekesalan pada sesuatu yang lain.

Leonora. Benar.

"Aku harus bertemu Leonora. Itu perintah, bukan permintaan." Ucapnya pada Keith selanjutnya.

"Saya akan mengantarkan Anda."

"Baguslah. Pilihan yang bijak." Mika berjalan lebih dulu. Untung saja tubuhnya hari ini tidak selemas kemarin.

Selama dua hari ini, mereka masih berada di Vulcan Empire karena Mika menolak pulang ke rumah Steve. Dia bahkan tak sudi bertemu pria itu. Tiap kali Steve mengajaknya bicara, atau setidaknya satu ruangan dengannya, Mika segera melengos pergi. Tak menanggapi Steve sedikitpun.

Mika terus melangkah tak sabar ingin menumpahkan kekesalan. Namun Keith memotong langkahnya tiba-tiba. "Tapi apa Anda yakin? Karena kita harus ke dungeon untuk bertemu Leonora. Saya takut Anda akan mual seperti kemarin."

"Tidak akan. Hari ini aku kuat."

Mika bukan wanita yang takut darah atau gampang mual hanya karena melihat adegan kekerasan. Bahkan menembak Leonora saja dia sanggup. Tapi kemarin entah kenapa bau anyir yang menusuk indra penciumannya terlalu kuat hingga perutnya bergejolak sampai ia pingsan. Ia yakin pasti itu efek kehamilan.

Tapi hari ini kondisinya lebih baik. Mika tak ingin menunda lagi pertemuan dengan nenek sihir itu. Lagipula dendam harus segera dituntaskan.

Namun, baru saja mereka sampai di luar pintu ruangan tempat Leonora ditahan, pintu terbuka. Steve keluar dari sana sehingga tatapan mereka bertemu.

"Cherrylips." Steve tampak terkejut. Wajah yang sebelumnya dingin langsung berubah kaget, lalu tersenyum.

Tapi seperti sebelumnya, Mika mengabaikan Steve dengan melangkah ke dalam melewati pria itu begitu saja. Ia tidak butuh berbicara pada pria sialan itu karena hanya akan membuatnya semakin marah. Tidak ada efek bagusnya sama sekali.

Atau yang lebih parah, dia malah memaafkan Steve begitu saja. Tidak akan!

Tapi sikap ketidakpeduliannya langsung sirna begitu matanya melihat tubuh Leonora sudah ditutupi kain putih. Terdapat bercak darah segar di bagian atas, bagian kepala.

Mika berbalik dengan tangan berkacak pinggan. "STEVE!!!!" Teriaknya keras meluapkan emosi.

Steve yang ternyata belum pergi menunduk dalam. Pria itu tetap diam seolah memiliki ketenangan tak terhingga.

Mika berlari menghampiri Steve lalu memukul dada pria itu sekuat tenaga. Satu pukulan, dua pukulan lalu tiga. Steve masih tidak bereaksi.

Pukulan ke empat, lima, enam, Steve menangkap tangan Mika.

"Kau menyakiti diri sendiri, cherrylips." Ucapnya lembut mengusap kedua punggung tangan Mika. "Sakit?"

Mika mengabaikan pertanyaan itu. Ia jelas tidak terima dengan tindakan Steve yang seenaknya. Mika takkan mengalah begitu saja. "Dia dendamku!" Tunjuknya pada mayat Leonora. "Bukan kau!"

"Kau hamil. Anakku. Aku tidak ingin kau semakin stres. Jadi lebih baik aku yang membunuhnya. Kini kau tak perlu lagi memikirkan soal dendam dan Leonora. Aku akan menyelesaikan semuanya untukmu."

"Dia adalah dendamku, Steve. Berapa kali lagi aku harus mengatakannya. Seharusnya kau bilang padaku. Bukan memutuskan sendiri begitu saja." Mika sangat geram. "Apakah seperti ini cara berkomunikasi kita di masa depan nanti? Kau memutuskan semuanya untukku? Tanpa adanya diskusi?"

Steve berlutut, menggenggam tangan Mika seraya masih menunduk. "Tidak. Hanya untuk kali ini. Aku tidak ingin kau dibutakan dendam."

Mika mendengus mendengarnya.

"Dibutakan dendam? Kau tidak sadar diri, ya?" Mika menghempaskan tangan Steve. "Bagaimana denganmu Stephen Ankaret? Apa kau tidak dibutakan dendam? Aku tidak percaya kalau kau memburu Leggio selama bertahun-tahun hanya karena anak buahmu yang mati. Aku tidak bodoh."

".."

"Kau bahkan tidak menceritakan masa lalumu padaku. Apakah kau mempercayaiku?" Mika kembali berkacak pinggang. "Kalau kau tak bisa berbagi denganku, lebih kita tak ada hubungan apapun. Toh, awalnya pernikahan ini hanya pura-pura."

Mika berjalan meninggalkan Steve.

Tapi langkahnya langsung terhenti karena Steve mendekap tubuhnya dari belakang. Sangat erat seakan takut Mika bisa menghilang begitu saja.

"Aku akan bercerita. Aku akan berbagi. Semuanya. Tapi jangan tinggalkan aku, cherrylips. Please!"

Mika merasakan pundaknya basah. Steve menangis? Sungguh?

Tapi hatinya harus kuat.

"Aku tidak percaya kau memburu Leggio bertahun-tahun hanya karena membalaskan dendam anak buahmu. Pasti ada cerita lain."

"Ya. Ada alasan lain." Akhirnya pria itu berkata jujur. "Aku akan menjelaskan semuanya." Steve memeluk Mika erat. "Asal kau tetap bersamaku. Menjadi istriku dan ibu untuk anak-anak kita nanti." Steve mengecupi leher Mika lembut. "Aku sangat mencintaimu Mikhaela. Tak ada keraguan sedikitpun."

"Kalau kau mencintaiku, kau tidak akan bertindak seenaknya."

"Hanya kali ini. Tadi aku terlalu senang mendengar kau hamil. Dan kau masih marah padaku. Jadi aku ingin menyelesaikan dendammu agar kita segera memulai tentang kita."

"Logikamu sangat merugikanku."

"Mika, please, maafkan aku."

Mika berbalik menatap Steve. Benar saja, mata pria itu basah. Wajah dan telinganya juga memerah. "Aku tidak pergi. Kau bisa tenang." Ucap Mika. Steve langsung tersenyum senang. "Untuk saat ini." Tambahnya. Senyum itu langsung hilang. "Jadi gunakan kesempatanmu sebaik mungkin karena aku sangat-sangat marah, Stevie."

Steve memeluk Mika lagi. Mendekapnya hingga kepala Mika bersembunyi dalam kehangatan dada bidang Steve. "Aku akan melakukan apapun asal kau selalu berada di sisiku. Apapun."

"Bohong. Bahkan nama kecilmu saja aku tahu dari orang lain."

"Mulai sekarang, kau akan mengetahui semuanya dariku. Aku janji."

"Aku tidak butuh janji. Tapi bukti."

"Aku akan membuktikannya padamu."

"An eye for an eye, Stevie. Ingat itu!" Mika takkan membiarkan dirinya tertindas begitu saja.

***

Tongues & Knots [selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang