Move On - Bab 7

284 44 5
                                    

Happy Reading!!!

***

“Ck, ngapain sih lo pake acara mau ketemu cowok berengsek itu segala, Ni? Buang-buang waktu aja!” Nabila mendengus seraya melangkah ogah-ogahan masuk ke dalam café milik Jaiz.

Sejak Agni mengabarkan bahwa pernikahannya dan Jaiz batal, Nabila hilang respek.

Sejujurnya sejak awal Nabila tidak begitu menyukai Jaiz. Menurutnya pria itu tidak gentle. Di usianya yang saat itu sudah dua puluh delapan tahun, Jaiz justru mengajak Agni pacaran. Lewat pesan lagi. Kalah oleh remaja jaman sekarang yang menyatakan cinta langsung ciuman.

Sikapnya yang cukup baik terhadap Agni selama mereka pacaran yang akhirnya membuat Nabila sedikit melunak, meskipun tidak suka-suka amat. Tapi bukan berarti dengan mereka berpisah sekarang Nabila tidak kesal. Justru rasa tak sukanya semakin bertambah. Rasanya Nabila ingin sekali mengacak-acak wajah Jaiz yang tidak seberapa ganteng gitu.

Ck, jauh jika harus dibandingkan dengan calon suami Agni sekarang. Nabila yakin penyesalan akan datang menghampiri Jaiz cepat atau lambat. Dan disaat itu terjadi, Nabila pastikan ia yang akan menertawakan paling kencang.

Nabila benar-benar kesal pada bajingan satu itu.

“Gue mau balikin uang dia yang udah dipake untuk sewa gedung, Bil.”

“Tapi ‘kan gak harus dengan ketemu langsung juga, Agni. Lo cukup transfer aja,”

“Gue tahu. Tapi ada hal yang harus gue bicarakan sama dia, Bil. Bagaimanapun bulan depan gue mau nikah. Agak riskan kalau urusan gue sama dia belum benar-benar selesai. Lagi pula ini atas saran Nathael.”

Agni tak bohong. Sehari setelah acara lamaran, Nathael membahas mengenai apa saja yang sudah Agni dan Jaiz persiapkan untuk pernikahan mereka, dan bertanya apa ia akan melanjutkan atau mengubah segala rencana.

Agni tidak memikirkan itu sebelumnya, tapi ketika Nathael membahasnya, Agni mulai menyadari bahwa sebelum dengan Nathael, rencana pernikahan itu tersusun bersama pria lain yang memilih melepaskannya di detik-detik terakhir.

Gedung udah deal. Gaun pernikahan udah aku pesan, begitu juga dengan cincin,” kata Agni saat itu.

Jadi?”

“Boleh gak kalau yang di batalin cuma cincin aja?”

“Kenapa?”

“Karena yang pilih cincinnya saat itu dia. Untuk gaun dia gak ikut campur. Dan kalau untuk gedung, sayang gak sih kalau di batalin?” ada denda yang harus mereka bayar jika membatalkan, apalagi saat itu Jaiz sudah membayar penuh untuk gedungnya. Bukan cuma itu, akan sulit juga jika harus mencari tempat lain yang bisa mereka gunakan di tanggal yang sudah di sepakati. Jadi, dari pada susah-susah lagi mencari lebih baik menggunakan yang sudah didapatkan.

“Kalau begitu aku ganti biaya sewa gedungnya,” putus Nathael tanpa sama sekali memberikan argumen. Membuat Agni menatap pria itu cukup lama, sebelum akhirnya mengangguk setuju. “Ada lagi?”

Agni tidak langsung menjawab, lebih dulu ia mengingat-ingat, lalu menggeleng. “Waktu aku ketemu dia hari itu niatnya mau bahas mengenai undangan dan semacamnya, tapi …” Agni tak berani melanjutkan kalimatnya. Masih terlalu sesak rasanya. Beruntung saja Nathael segera memahami itu dan meremas jemari Agni yang berada di samping tubuhnya. Tatapan Nathael seakan mengatakan, ‘tidak apa-apa. Aku di sini. Kamu punya aku sekarang.’ Tak bohong bahwa Agni merasa lega setelahnya.

Dan berkat keyakinan yang Nathael beri, di sini Agni berada sekarang. Di temani dua sahabatnya, meskipun Nabila terlihat begitu malas. Padahal sebelumnya café Jaiz menjadi tempat nongkrong favorite-nya. Wifi di sini lancar, Nabila bisa menyelesaikan pekerjaannya tanpa kendala sambil menikmati kopi, sebelum kemudian pulang untuk bertemu suami dan anaknya.

Move OnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang