3

78 18 0
                                    

Hyunwoo membawa dua cup ramyun pedas berbeda rasa menuju meja di luar minimarket tak jauh dari rumahnya. Disana, Sumin sudah duduk dengan wajah letih dan rambut yang masih sedikit acak-acakan, mengenakan jaket milik adiknya yang tadi pagi ia pinjam.

"Jadi, lo berantem sama Jinsik hyung karena apa?" mulai Hyunwoo. Ia mengaduk ramyeonnya agar sedikit dingin sambil meniup-niup.

Setelah cukup lama Sumin mengunci mulut, akhirnya ia mengangguk dengan desahan lelah. "Lo tahu darimana? Emang sejelas itu, ya?" tanya Sumin, matanya membesar dua kali lipat selagi menatap Hyunwoo yang mengunyah.

"Gue ngga pernah sadar, sih," jawabnya jujur. Sumin sempat menghela napas lega, tetapi perkataan Hyunwoo selanjutnya hampir memberikannya serangan jantung. "Yujun yang ngasih tahu gue."

"Hah?!"

"Jangan teriak-teriak, ih!" Ekspresinya berubah kesal, mengaduk ramyun sebal sambil memanyunkan bibirnya. "Ya, awalnya gue pikir Yujun ngada-ngada, ternyata beneran."

"Anak itu tahu darimana? Kok, Bisa?" Hyunwoo meneguk minumannya, mengabaikan rentetan pertanyaan Sumin. "Hyun!"

"Makan dulu napa, sih, Hyung?" Ia melempar tatapan sinis, kembali mengalihkan atensinya pada cup ramyun. Setelah bentakan barusan, Sumin akhirnya mau mengambil suapan ke dalam mulutnya, memakan dalam dingin malam.

Ramyun kuah, jaket hangat, udara dingin menjelang musim salju, paduan yang kerap kali Hyunwoo dan Sumin rasakan tiap tahunnya. Keduanya larut dalam hangat uap kuah ramyun, dalam ruang pikirannya masing-masing, dalam gelap jalanan yang diterangi oleh terang rembulan malam dan lampu-lampu jalan.

"Hyun."

Hyunwoo mendongak, menghabiskan seluruh kuahnya dengan menyeruput. "Apa?" tanyanya singkat, tidak terlalu minat mendengar apa pertanyaan dari sang Abang.

Sumin menahan ucapannya di tenggorokan untuk sementara, seolah berusaha keras untuk mengolah kata agar bisa mengekspresikan apa yang ia rasakan sekarang. Mungkin, karena dirinya memang jarang menceritakan hal-hal seperti ini pada Adiknya, mendadak ada sedikit lonjakan canggung yang membuncah di dadanya.

"Apa? Jangan bilang lo malas ngomong lagi," tekan Hyunwoo yang sudah keburu penasaran. Ia menunjuk Sumin, memastikan bahwa manusia di depannya ini harus berbicara bagaimanapun juga.

Jidat Sumin yang awalnya masih menyapa hembusan angin malam dengan ramah, kini sudah mencium meja secara lumayan keras. Sontak, Hyunwoo terperanjat. Untungnya tidak banyak orang yang lalu lalang maupun yang menghampiri minimarket malam ini.

"Gue bego banget, Hyun ...," lirih Sumin yang hampir terdengar seperti bisikan.

Hyunwoo meneguk ludahnya kasar, bingung harus merespon bagaimana. "Baru nyadar apa gimana, Hyung?"

"Jangan sampai kaleng ini gue sumpel ke mulut lo, ya," geram Sumin ancang-ancang melempar kaleng yang masih terisi setengah di tangannya. Jelas dibalas dengan Hyunwoo yang memutar bola matanya.

Sumin menarik napas panjang, membuangnya dengan berat. Dia tidak tahu sesulit ini untuk berbicara jujur, sesulit ini untuk sekedar mengatakan beberapa patah kata.

"GuesukasamaJinsik."

Tak ada suara, kalau perlu hiperbola, rasanya Sumin bisa mendengar detak jantungnya yang berdegub tidak karuan hanya karena khawatir akan respon Hyunwoo. Mengapa anak itu tak mengatakan apapun? Apa karena Sumin berbicara terlalu cepat tanpa spasi sehingga Hyunwoo tidak dapat mendengar apapun?

"Terus bertengkarnya karena apa?"

Kelopak mata Sumin berkedip cepat, kepalanya mundur kebelakang secara reflek karena heran menghiasi otaknya. "Lo ngga dengar gue ngomong apa barusan?"

"Iya terus kalian bertengkarnya karena apa?" Hyunwoo memajukan kursinya, tampak begitu antusias dengan topik yang sedang dibahas. Sungguh berbanding terbalik dengan Sumin yang rahangnya sudah jatuh ke bawah karena tidak mengerti dengan respon sang Adik.

Sumin memperbaiki postur tubuhnya, ikutan memajukan badannya lebih dekat. "Gue bilang, gue. suka. sama. Jinsik."

"Iya itu gue tahu, Hyung. Gue, kan, nanya tentang alasan kalian bertengkarnya. Gimana, sih?"

Sumin belum pernah merasa seterkejut ini dalam hidup.

"Lo ngga kaget—ngga, bentar, gue masih ngga paham. Lo bahkan ngga mempertanyakan perkataan gue tadi, Hyun?"

Alis Hyunwoo naik sebelah, matanya menyipit mendengar lontaran pertanyaan Sumin yang menurutnya tidak penting. "Ngapain? Bukannya lo emang udah lama suka sama Jinsik hyung?" Sumin lagi-lagi melemparnya ekspresi seperti orang yang kehilangan semangat hidup. "Iya ..., kan?" lanjutnya ragu-ragu.

Lama sebelum Sumin mampu membuka mulutnya lagi. "Lo udah tahu sejak kapan?" suara Sumin masih pelan, seperti gumaman. "Am I that obvious?"

Melihat anggukan pelan Hyunwoo, Sumin ingin menghilang saja dari dunia. Ingin rasanya ia mengendarai mobil Ayahnya dengan kecepatan sekencang mungkin hingga jatuh dari tebing atau apapun itu. Jika saja ia bisa mengubur dirinya sendiri sekarang.

Sumin mengacak-acak rambutnya kasar, membuang napas berat karena frustasi. Ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan dan menjatuhkan kembali kepalanya ke atas meja. "Kalau sejelas itu, menurut lo dia tahu ngga?" Sumin berbicara dengan suaranya yang cukup serak.

"Kalau gue suka sama dia?"

Wajah Hyunwoo sekarang dilapisi dengan sedikit rona panik. "Lo nangis, hyung?"

"Apasi lo, brengsek."

Hyunwoo tergelak, bibirnya melengkung membentuk senyuman begitupula dengan kedua belah matanya. Ia memang tidak terbiasa berada di situasi seperti ini, apalagi Sumin juga tidak pernah menunjukkan sisi rapuh padanya.

Hal itu membuat pikiran Hyunwoo bertanya-tanya, apa cinta dapat benar-benar membuat seseorang tampak semenyedihkan dan seberantakan seperti abangnya?

"Hyung?" Sumin tidak menjawab panggilannya, tapi Hyunwoo tak peduli, karena tahu bahwa sebenarnya sang Abang mendengar, hanya lelah menjawab. "Gimana rasanya jatuh cinta?"

Kepala Sumin bergerak, masih dengan posisi yang terbaring di atas meja dengan tangan sebagai bantal, hanya saja melirik ke arah jalanan sepi. Sumin tampak membuka mulutnya, tapi ia katup lagi, membukanya, dan mengatupnya lagi beberapa kali.

"Kapan lo tahu kalau lo suka sama Jinsik hyung? Hal apa yang bikin lo suka sama dia? Apa yang bikin dia spesial di hati lo?" rentetan pertanyaan karena Hyunwoo tulus menginginkan jawaban itu masih belum dijawab. Dirinya sendiri tidak mengerti mengapa menanyakan hal tersebut? Hanya sekedar rasa penasaran yang mendadak muncul ke permukaan.

"Rasanya kayak lagi naik sapu terbang."

Dahi Hyunwoo mengerut tidak dapat memahami perumpamaan Sumin. Namun, belum sempat Hyunwoo protes, Sumin melanjutkan ucapannya tanpa menoleh pada Hyunwoo sama sekali, terus menatap jalanan yang lenggang.

"Kayak dibawa terbang. Interaksi kecil aja bikin lo ngambang di lembut awan. Setiap kali lo bisa disamping dia, rasanya kayak dunia ada di genggaman lo. Bahkan meskipun lo ada di atas awan pun, bisa ngelihat penampakan kota malam dari atas yang pastinya indah, ngga bisa nandingin perasaan aneh yang selalu timbul setiap kali bisa ngelihat wajah dia.

Mood dia down, lo juga ikutan. Karena lo pengen ngerasain apa yang dia rasain, nyari suatu kesamaan. Kalau dia deket sama orang lain, mendadak sapu terbang lo kehilangan keseimbangan. Lo berusaha keras untuk berpegang dengan harapan kalau dia ngga bakal pergi, kalau ngga bisa bersama setidaknya menjadi teman aja cukup. Tapi, dilain sisi, lo tahu kalau perasaan seperti cemburu itu susah banget ditahan."

Sumin lagi-lagi menarik napas berat, matanya jadi mengantuk sekali. "Pas lagi bertengkar, rasanya kayak kehilangan kekuatan sapu terbang. Kekuatan itu tiba-tiba lenyap dari tangan lo. Dan lo terus jatuh ke tempat yang ngga berujung. Segala hal jadi gelap, dunia kayak berhenti berputar, perasaan lo terobrak-abrik. Pokoknya, yang lo pikiran saat itu cuma dia doang."

Meskipun Sumin hanya menjawab satu pertanyaan, Hyunwoo bisa merasakan betapa tulusnya perasaan Sumin pada Jinsik. Dulu, ia hanya berpikir bahwa Sumin sekedar suka, tapi ternyata jauh lebih dari itu.

Sumin jatuh cinta.

Dan ia sudah jatuh terlalu dalam.

Tanpa mengetahui perasaan Jinsik padanya.

Type of WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang