15

44 13 17
                                    

"Coach, masih ada sebulan lagi. Hyunwoo masih bisa—

"Tidak, Saya sudah mengirim ke tim panitia. Yang akan ikut perlombaan adalah Cheon Junhyeok, bukan kamu."

Dua kalimat itu mampu membuat Hyunwoo membisu, bungkam tanpa ada kata yang bisa ia keluarkan sama sekali. Ia menggigit bibit bawah, rahangnya mengeras seraya ia kepalkan tangan.

Coach-nya tidak menerima semua protes yang Hyunwoo keluarkan. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Kalau Hyunwoo bisa memutarbalikkan bumi, udah dia putarbalikkan sekarang.

Dirinya duduk di tribun lapangan, goyangin kaki dengan bibir manyun dan ekspresi murung. Anggota eskul lari sekarang lagi muterin lapangan, kegiatan rutin setiap pagi dan pulang sekolah.

Tampak Seeun berjalan ke arahnya dengan memegang dua botol soda dingin, tubuhnya penuh peluh habis berlari beberapa putaran. "Hyung," sodornya dengan alis yang naik.

Hyunwoo geser tangan Seeun dari depannya, ngga ada selera untuk sekedar minum. Pikirannya lagi rusuh parah, kecewa karena Coach-nya langsung memutuskan untuk mengganti posisi Hyunwoo sebagai perwakilan lomba.

Marah? Pasti. Hyunwoo marah banget sekarang. Bukan sama coach-nya aja, tapi sama dirinya juga. Alasan yang diberikan masuk akal. Coach bilang kalau Hyunwoo tidak memungkinkan untuk ikut lomba karena cideranya termasuk cukup parah.

Waktu yang dibutuhkan Hyunwoo untuk pulih sempurna dan dapat berlari lagi lumayan lama, mungkin dua sampai tiga minggu karena nyeri yang ia rasakan masih dalam frekuensi yang sering terjadi.

"Padahal gue masih bisa jalan," gumam Hyunwoo mengacak-acak rambutnya frustasi.

"Tapi lo ngga bisa lari, hyung."

"Diam sebelum gue robek mulut lo, Park Seeun."

Beh, Hyunwoo kalau udah manggil nama lengkap Seeun juga waspada. Bisa-bisa dia dilempar dari tribun ke lapangan. Pelan-pelan Seeun dudukkan dirinya di sebelah Hyunwoo, nawarin kaleng soda sekali lagi mana tahu Hyunwoo mau.

"Udahlah, hyung. Bukan waktunya lo bersinar kali. Tahun depan? Atau mungkin beberapa bulan lagi ada lomba? Kan kita ngga tahu," ucap Seeun berusaha nenangin. Dia nyeruput sodanya, ngelirik ke arah Hyunwoo yang kayak udah antara hidup dan mati.

Hyunwoo ngehela napas panjang. Ini untuk narik napas aja kayak derita hidup banget. "Karena ngga tahu itu, Se. Gue ngga tahu kapan lagi ada lomba. Nanti kalau gue keburu lulus duluan gimana?"

"Emang yakin lulus?"

"Tai lo, sumpah."

Seeun terkikik, hampir nyembur ke Hyunwoo tapi sempet dia tutup mulutnya kuat-kuat. "Hidup emang ada turun naik, hyung. Relain aja, mana tau lo sebenarnya bakal kalah di turnamen nanti, tapi Tuhan sengaja ngga jadi ikutin. Kan, kalau beneran kalah lo malu nanti. Emang mau?"

Tangan Hyunwoo memijat pelipisnya lelah. Ini Seeun mau nyemangatin dia atau mau makin nurunin semangatnya, sih? Tapi, Hyunwoo memang lebih menyukai cara Seeun merespon. Dia ngga ngasih kata-kata menenangkan, lebih ke arah bikin dia senyum lagi.

Dirinya menyandar pada kursi tribun, kembali goyangin pelan kakinya. Duh, masih nyeri. Sekarang yang sakit bukan kakinya doang, kepalanya juga.

"Menurut lo masih ada kesempatan gue ambil lagi tempat Junhyeok ngga?"

"Ngga."

Hyunwoo stress, pengen guling-guling tapi malu juga dilihatin. Rasanya kalau dia ditabrak mobil bakalan pasrah. Dirinya mengeratkan jaket puff dan syal hitam garis-garis hijau di lehernya.

Type of WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang