4

89 18 10
                                    

Hyunwoo mengeratkan jaket di badannya. Napasnya sudah mengeluarkan asap sangking dinginnya suhu di luar. Ia berdiri di luar minimarket, kedua tangan memeluk erat tubuhnya sendiri, berkali-kali menghembuskan napas untuk sekedar mengalihkan perhatiannya dari hawa dingin.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan ia berdecak sebal, lelah menunggu Sumin yang sedang buang air besar di toilet minimarket. Hyunwoo sudah menyuruhnya untuk pulang saja dan lakukan di rumah, tetapi Sumin bersikeras mengatakan ia sudah tidak tahan. Berakhir dengan Hyunwoo yang harus menunggu Abang satu-satunya itu di luar sebelum bisa pulang.

"Oh? Halo~," sapanya manis pada kucing kecil yang mengusel-usel kepalanya ke kaki Hyunwoo. Suasana hatinya naik oleh eksistensi makhluk imut yang sudah berada di genggamannya sekarang.

Kucing bercorak putih dengan sedikit hitam itu mengeong lumayan keras. "Lapar, ya?" tanya Hyunwoo sendiri. Ia menaruh kucing barusan ke tanah, menoleh kesana kemari.

Kebetulan, ia mengingat ada toko khusus hewan peliharaan di sekitar minimarket ini. Kakinya tanpa sadar lebih dulu berjalan kecil mencari keberadaan toko itu. "Ah, ini dia!" pekiknya kegirangan, menunjuk pada toko yang dihimpit dua toko lain yang sudah tutup.

Tanpa lama, ia menghampiri toko itu. Namun, karena uang yang ia bawa tidak banyak, ia hanya bisa membeli sedikit makanan kucing yang bentuknya kecil. "Cukup ngga, ya?" tanya Hyunwoo ragu, habisnya kucing tadi kelihatan lebih kurus daripada kucing umumnya. "Cukup kali—Agh!"

Hyunwoo jatuh terduduk di aspal jalan, kedua tangan menggengam erat pergelangan kaki kanannya yang menimbulkan nyeri bukan main. Ia meringis, menahan sakit yang seolah menyentrum sekujur tubuhnya.

Ingin rasanya Hyunwoo mengumpat pada dunia karena sudah dua kali pergelangan kakinya terkilir hari ini, terlebih di bagian yang memang sedang memar. Tangannya terus menekan-nekan bagian yang semakin sakit, berharap akan sedikit reda.

Lama Hyunwoo diam terduduk menyentuh kaki kanannya, seluruh tulangnya menjadi lemas, ia tak ada kekuatan untuk sekedar berdiri. Bahkan saat salju pertama mulai turun, ia masih membatu di tempatnya.

Pikirannya sudah melayang jauh, tentang bagaimana kelanjutannya dalam mengejar pertandingan lari dua bulan lagi. Memang jarak waktunya masih lama, tetapi hal ini sudah berhasil membuat pikirannya begitu berantakan.

"Jatuh lagi?"

Kepala Hyunwoo menengadah perlahan, hanya untuk menemukan dua manik mata yang menatapnya dengan ekspresi wajah yang datar, sedang melindungi kepalanya dari dingin kepingan salju yang terus turun menggunakan payung.

"Ck."

Tanpa aba-aba, tangan Hyunwoo ditarik untuk menggengam tangkai payung agar tetap terlindungi dari saljut seraya sendal Hyunwoo dilepas olehnya. "Kim Junghoon?" panggil Hyunwoo masih mencoba memahami keadaan.

Manusia yang Hyunwoo yakini sebagai Kim Junghoon itu sekarang ada di depan matanya, mengeluarkan perban dari bungkus plastik yang ia bawa dan sedang membalut kaki kanannya dengan telaten. Keduanya sempat berkontak mata sebentar.

"Hindari banyak bergerak, penyembuhannya bakal makin lama." Junghoon beranjak berdiri, mengulurkan tangannya ke arah Hyunwoo yang masih menatapnya dengan tatapan bodoh.

Belum sempat Hyunwoo membalas uluran tangan itu, Junghoon sudah lebih dulu mengangkat badannya seperti mengangkat anak kecil untuk berdiri. Hampir seperti memeluknya, dan untuk sesaat, jantung Hyunwoo seolah lupa bagaimana caranya berfungsi. Ia bisa mencium wangi badan Junghoon yang unik, seperti harum lavender.

"Lo bisa pulang sendiri?"

Suaranya masuk dengan mudah ke telinga Hyunwoo, menghipnotis. Dirinya masih terdiam, memperhatikan bagaimana kepingan salju menutupi rambut hitam selegam tinta pena milik Junghoon. Juga hidung mancungnya yang lumayan memerah.

Ekspresi Junghoon berubah heran, mungkin karena aksi Hyunwoo yang tiba-tiba menyodorkan payung ke atas kepalanya, dengan sedikit berjinjit karena perbedaan tinggi badan keduanya. "Lo ngapain?"

Hyunwoo ikutan bingung, matanya melirik pada tangannya yang tadi bergerak lebih dulu dari pikirannya. "Saljunya, kena rambut lo."

Junghoon menggeser tangan Hyunwoo menjauh, memaksa agar anak itu memakai saja payungnya sendiri. "Lo bisa pulang sendiri?" ulangnya sekali lagi.

Sejenak Hyunwoo berpikir, ia menoleh ke arah kaki kanannya yang sudah terbalut rapi. Memang susah, sih, untuk dibawa berjalan karena kakinya menjadi tebal seperti ini. "Bisa kayaknya."

"Jangan kayaknya," sambar Junghoon cepat. "Bisa atau ngga?"

Alis Hyunwoo tertaut bingung. Apa ini memang karakter Junghoon atau bagaimana? Menyebalkan sekali. Lagipula bukannya mereka baru bertemu tadi pagi? Tidak ada perkenalan, tidak ada acara sok asik sok asikan yang biasanya Hyunwoo lakukan dengan orang baru.

"Bisa," ketus Hyunwoo. Ia memajukan bibirnya menahan rasa sebal. Junghoon mengangguk kecil, kemudian melenggang begitu saja dari sana tanpa mengucapkan pamit sama sekali. "Eh, anjir! Ini payung lo ketinggalan!"

Pekikan Hyunwoo sepertinya kurang besar layaknya Yujun, buktinya Junghoon tidak berbalik dan terus berjalan menjauh dari arahnya. Ia memang ingin mengejar untuk mengembalikan payung yang berada di genggamannya sekarang, tetapi langkahnya terbatas karena sakit masih terus menggerayangi kakinya.

Hyunwoo berakhir dimarahi oleh Sumin karena Abangnya itu mengira ia pulang lebih dulu meninggalkannya. Sumin sempat bertanya mengapa kaki Hyunwoo mendadak dibalut kain padahal sebelumnya tidak apa-apa, tapi Hyunwoo hanya membalas singkat bahwa ia terjatuh dan dibantu oleh penjaga toko.

Ah, kucingnya sudah menghilang. Sia-sia usahanya mencari makanan hingga terjatuh.

Type of WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang