3. Keluarga?

602 55 0
                                    

Zach menarik napas pelan menatap ke sekeliling ruangan yang sepi. Tidak ada seorang pun di sini selain dirinya. Sejak membuka mata di pagi hari, belum ada satu pun dari orang-orang yang mengaku keluarganya menunjukkan batang hidung mereka. Sekarang bahkan hampir jam makan siang.

"Hah... Sebenarnya kehidupan seperti apa yang lo jalani selama ini Zeelion?" gumam Zach pada dirinya sendiri.

Zach mengalihkan pandangan ke luar jendela ruang rawatnya, menatap hamparan langit yang membentang indah. Dia masih merutuki nasibnya yang harus terdampar di tubuh Zeelion. Ingin menyerah, tapi tidak bisa. Satu-satunya yang bisa dia lakukan saat ini adalah menerima takdirnya sebagai Zeelion dan memikirkan apa yang harus dia lakukan ke depan.

"Hah...mari mulai dengan memulihkan kondisi tubuh lo dulu Zeelion. Setelah itu baru gue pikirin lagi rencana ke depannya". Lagi-lagi helaan napas kasar terdengar dari bibir Zach.

Dia memejamkan mata sesaat kala pusing kembali menghampirinya. Tidak sesakit sebelumnya tapi cukup membuat dahi Zach mengernyit dalam. Zach itu tidak lemah. Dia bukan tipe manja yang akan mengeluh hanya karena sakit sepele. Tapi kondisi tubuhnya saat ini benar-benar membuat Zach tidak nyaman. Mungkin karena dia berada dalam tubuh anak-anak sehingga fisiknya lebih lemah.

Zach kembali membuka mata saat mendengar pintu terbuka. Dia melihat seorang perawat masuk sambil membawa nampan berisi bubur dan obat-obatan.

"Loh...adek cuma sendirian? Orang tuanya mana?" tanya sang perawat heran.

Zach hanya menggeleng kecil dan berusaha tersenyum kepada perawat tersebut.

"Gue juga mempertanyakan itu dari tadi" batin Zach.

"Saya bawakan makanan untuk adek. Ini sudah jadwal adek makan siang dan minum obat. Adek mau makan sendiri atau mau saya suapi saja?" jelas perawat tersebut tersenyum ramah.

"Sendiri" jawab Zach singkat.

"Baiklah kalau begitu makanannya saya letakkan di sini ya. Nanti setelah makan, obatnya jangan lupa di minum". Perawat itu menata bubur, obat dan segelas air di atas meja kecil, lalu meletakkannya di depan Zach.

Sang perawat kembali tersenyum saat Zach hanya mengangguk kecil. Dia sebenarnya kasihan melihat anak sekecil ini harus ditinggalkan sendirian padahal keadaannya belum bisa dikatakan baik. Tapi dia tidak ingin menunjukkan rasa kasihannya dan membuat anak ini semakin sedih nantinya.

"Baiklah kalau begitu, saya keluar dulu. Kalau adek butuh sesuatu, adek bisa tekan tombol yang ada di samping situ" kata sang perawat seraya menunjuk tombol merah di samping brankar.

"Iya. Terima kasih" jawab Zach pelan.

Sang perawat kembali tersenyum kecil dan setelahnya berlalu keluar. Meninggalkan Zach yang kembali dalam kesunyian.

Zach menatap datar makanan di depannya. Dari bentuknya saja sudah membuat tidak selera. Zach sangat tahu seberapa hambar bubur rumah sakit. Tapi dia tidak bisa minum obat dalam keadaan perut kosong.

Dengan enggan dia memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. Menguyah perlahan dan menelannya paksa. Namun baru saja memakan 4 sendok, perutnya mulai terasa tidak enak. Zach menghentikan makannya dan meraih segelas air yang tersedia di samping bubur. Meneguk perlahan, berharap rasa mual yang dia rasakan bisa berkurang. Akan sangat merepotkan jika dia muntah di sini. Ingin ke kamar mandi pun, tapi Zach terlalu malas.

Setelah meminum beberapa teguk air dan dirasa rasa mualnya mulai berkurang, Zach meletakkan gelasnya kembali. Zach beralih mengambil beberapa butir obat yang tersedia, bertepatan dengan Hera yang masuk.

"Loh sayang kamu sudah bangun?" tanyanya setelah masuk dan menghampiri putranya.

"Eh...kamu sudah makan juga sayang? Tapi ini kok masih banyak? Kenapa gak dihabisin?" tanyanya kembali saat mendapati mangkuk bubur di hadapan putranya.

RestlessnessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang