Keesokan harinya, Raia berdiri diam di tengah lapangan terbuka di tepi hutan. Di hadapannya, Darvius berdiri dengan tangan terlipat, memandangnya dengan tatapan tajam yang penuh penilaian. Mereka saling bertatap dalam diam, udara pagi yang segar menyelimuti mereka.
"Apa yang harus kulakukan?" tanya Raia akhirnya, memecah kesunyian.
"Pertama, alirkan aura di seluruh tubuhmu," jawab Darvius dengan nada tenang. Raia mengangguk dan mulai mengalirkan auranya, merasakan energi yang hangat mengalir melalui setiap serat ototnya.
"Konsentrasikan di satu tempat," ucap Darvius. Raia mengerutkan kening, berusaha fokus, dan mengarahkan auranya ke tangan kanannya. Ia merasakan getaran energi semakin kuat di satu titik.
"Konsentrasikan di ujung jarimu," perintah Darvius lagi. Raia mengerahkan segala konsentrasinya, mengarahkan auranya ke ujung jari-jarinya.
"Lebih padat," ucap Darvius. Raia merasakan ketegangan di tangannya meningkat. Keringat mulai membasahi dahinya, dan tubuhnya gemetar karena usaha yang diperlukan untuk memadatkan auranya.
"Lebih padat lagi," desak Darvius. Raia berjuang keras, otot-ototnya tegang, dan napasnya semakin berat. Punggungnya mulai basah oleh keringat yang mengalir deras.
Auranya mulai terasa seperti akan menghancurkan tangannya jika ia terus memadatkannya. Namun, Raia tetap berusaha.
"Padatkan lagi," perintah Darvius dengan suara keras dan tegas. Raia berusaha sekuat tenaga, wajahnya memerah karena konsentrasi yang begitu intens. Selama tiga menit yang panjang, ia terus berjuang untuk memadatkan auranya lebih dari sebelumnya.
Akhirnya, Raia mencapai batasnya. Auranya terpecah dan tersebar ke segala arah dengan ledakan kecil. Energi yang tidak terkendali membuat tubuhnya gemetar, dan ia jatuh ke tanah dengan nafas terengah-engah, kelelahan mengkonsentrasikan auranya.
Raia terengah-engah, keringat membasahi tubuhnya yang lelah. Ledakan aura tadi melukai tangannya, meskipun lukanya tidak terlalu parah dan akan sembuh dalam waktu dekat, namun tetap saja itu sedikit menyakitkan. Tangannya terasa perih saat mencoba menggerakkannya.
"Apa yang kamu rasakan ketika memadatkan auramu?" tanya Darvius dengan nada tenang.
Raia menggeleng, mencoba mencari tahu. "Aku tidak tahu," ucapnya akhirnya. Ia tidak mengerti mengapa harus memadatkan auranya di satu tempat seperti itu.
Darvius menatapnya dalam-dalam. "Aura merupakan energi yang ada di tubuh. Aura dapat menjadi senjata utama yang sangat kuat, namun ada kelemahan dalam aura. Semakin padat auranya, semakin liar jadinya," ucap Darvius. "Maka dari itu, kau harus menyadari cara untuk menenangkan auramu."
Raia mendengar penjelasan itu dan bertanya, "Apa kamu tidak tahu cara menenangkan aura?"
"Tubuhmu berbeda, Raia. Tubuh yang mampu menyerap energi alam meskipun memiliki aura yang murni. Biasanya, para pejuang yang menggunakan aura akan kesulitan merasakan energi di sekitar mereka. Mereka terlebih dahulu harus mencapai tingkat pencerahan yang tinggi sebelum dapat merasakan energi di sekitarnya dengan jelas. Itulah kenapa mereka mengasah aura mereka sejak muda."
Raia mendengarkan dengan seksama. Darvius melanjutkan, "Berbeda denganmu, dari yang kulihat, meskipun kau mencapai tingkat 4 di usia 17 tahun, aku merasakan kamu bahkan belum berlatih aura selama kurang dari sepuluh tahun, bukan? Itulah mengapa tubuhmu kesulitan menanggung beban auramu. Ini adalah kelemahan fatalmu."
Raia mengerutkan kening, memikirkan apa yang dikatakan Darvius. Pengamatannya yang sederhana namun sangat akurat membuat Raia tertegun. Memang benar, ia mulai melatih auranya sejak berumur 10 tahun, dan ia tidak merasakan bahwa tubuh ini pernah melatih aura sebelumnya.
Darvius mengangguk, seakan sudah menduga hal itu. "Itu menjelaskan semuanya. Tubuh ini belum terbiasa dengan beban aura."
"Jadi aku hanya perlu berlatih aura?" tanya Raia, masih terengah-engah, keringat membasahi wajahnya.
Darvius menggelengkan kepalanya perlahan. "Jujur padaku, sudah berapa lama tingkatan auramu tidak meningkat?" tanyanya dengan nada serius.
Raia terdiam sejenak, merenungkan pertanyaannya. "Sekitar tujuh bulan," jawabnya akhirnya dengan suara pelan.
Darvius mengangguk, seolah-olah sudah menduga jawaban itu. "Maka tubuhmu tidak dapat menambah kapasitas aura untuk saat ini. Tubuhmu perlu waktu untuk tumbuh. Jika memaksakan menambah aura sekarang, hanya tinggal menunggu waktu sebelum kamu kehilangan auramu."
Mendengar penjelasan itu, Raia termenung. Ia merasa kecewa dan bingung. "Jadi, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya, mencari petunjuk dari Darvius.
"Jawabannya sederhana, dan kamu sudah tahu apa itu. Bahkan, kamu sudah bisa merasakannya, bukan?" ucap Darvius, matanya menatap tajam ke arah Raia.
Raia bingung. Apa yang bisa ia rasakan selain aura? Ia merenung sejenak, mencoba mencari jawaban. Setelah berpikir sesaat, pencerahan datang kepadanya. "Jangan bilang... itu... mana?" ucapnya dengan ragu-ragu.
Darvius tersenyum tipis, senang bahwa Raia akhirnya mengerti. "Tepat," jawabnya.
Merasakan harapan untuk memperkuat dirinya, Raia bersemangat dan berkata, "Lalu bagaimana cara mengendalikan aura? Apa langkah berikutnya?"
Darvius tersenyum kepada Raia. "Hari ini sudah cukup. Obati lukamu dulu, kita akan berangkat siang hari," ucapnya dengan nada tenang.
Raia mendengar itu dan langsung bertanya, "Kemana kita akan pergi?"
Darvius menatapnya dengan senyum misterius yang membuat Raia semakin penasaran. "Lihat saja nanti," jawabnya singkat.
Raia mengerutkan kening, merasa curiga namun tidak ada pilihan lain selain mengikuti arahan Darvius. Ia tahu bahwa Darvius memiliki rencana, dan untuk saat ini ia harus mempercayainya.
Sementara itu, Isolde yang sejak tadi berdiri di pinggir lapangan, akhirnya mendekat membawa handuk serta air. "Kamu baik-baik saja, Raia?" tanyanya dengan nada khawatir, matanya mencerminkan kekhawatiran yang tulus. "Guru memang sering merahasiakan sesuatu, tapi ia selalu punya alasan."
Raia mengambil handuk dan air dari Isolde, tersenyum lemah namun berterima kasih. "Terima kasih, Isolde. Aku baik-baik saja, hanya sedikit lelah," jawabnya sambil mengusap keringat dari wajahnya dan meminum air untuk menghilangkan dahaga.
Isolde duduk di samping Raia. "Guru mungkin terlihat keras, tapi dia selalu memikirkan kita. Jangan khawatir, dia pasti punya rencana yang baik untukmu."
Raia melihat Isolde dengan rasa terima kasih. "Aku akan ingat itu. Terima kasih lagi, Isolde."
Dengan itu raia berdiri dan membersihkan dirinya bersiap untuk perjalanan bersama dengan darvius.
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIA
Fantasy#1 magic 21/10/2024 #4 petualangan 21/10/2024 #2 isekai 11/11/2024 Lunar, di dunia sebelumnya, adalah seorang pejuang terakhir umat manusia yang berjuang mati-matian melawan kegelapan hingga akhir. Setelah kematiannya, Lunar terbangun di dunia baru...