Awal II

355 110 2
                                    

Lunar merasa pusing saat membuka matanya. Lingkungan yang asing dan tubuh yang terasa aneh membuatnya bingung. Ketika mencoba menggerakkan tangannya, ia menyadari bahwa tangannya jauh lebih kecil dari yang diingatnya. Matanya meneliti sekeliling, berusaha memahami di mana ia berada. Ia mendapati dirinya di sebuah ruangan sederhana dan bobrok dengan dinding kayu tua dan lantai yang berderit setiap kali ia bergerak.

"Di mana aku?" gumamnya pelan, suaranya lebih tinggi dan lembut dari biasanya. Saat itulah, Lunar menyadari bahwa dirinya berada dalam tubuh seorang gadis kecil. Ketika mencoba mengingat apa yang terjadi, ia teringat akan kematiannya. Setelah kematian tragis yang menimpanya, jiwanya terpisah dan terlempar ke tempat yang tidak dikenal ini.

Dengan hati-hati, Lunar berdiri dari tempat tidur yang hanya berupa tumpukan jerami dan selimut tipis. Tubuh barunya tampak lemah dan kurang gizi. Ia berjalan ke cermin tua yang retak di sudut ruangan. Wajah seorang gadis kecil berusia sekitar sepuluh tahun menatapnya. Rambutnya acak-acakan, wajahnya berdebu, namun di mata gadis itu ada sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri semangat yang kuat dan pantang menyerah.

Saat berpikir, pintu kamar terbuka, dan seorang wanita paruh baya dengan wajah lelah dan raut keras masuk ke ruangan. Wanita itu memandang Lunar dengan campuran kekhawatiran dan skeptisisme.

"Raia, kamu sudah bangun?" tanya wanita itu dengan suara lembut namun penuh ketakutan. Lunar baru sadar kalau tubuh yang ia tempati bernama Raia.

Wanita itu kemudian berlutut di samping Lunar, memeriksa kondisinya dengan cermat. "Kamu demam tadi malam. Aku sangat khawatir."

Lunar mencoba mengingat siapa wanita ini. Mungkinkah dia ibu Raia? "Ibu?" kata Lunar lembut, mencoba memainkan peran sebagai seorang gadis kecil.

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum lembut, meski matanya masih menunjukkan kekhawatiran. "Ya, aku di sini. Kamu harus istirahat, Raia. Aku akan mengambilkan sesuatu untuk dimakan."

Lunar mengangguk, meski pikirannya masih sibuk mencoba memahami situasinya. Kini ia berada di tubuh seorang gadis bernama Raia, dengan seorang ibu yang sangat peduli padanya. Dunia ini jelas berbeda dari dunia asalnya, tapi dia perlu tahu lebih banyak tentang tempat ini dan mengapa dia ada di sini.

Setelah wanita itu pergi, Lunar mulai menjelajahi rumah kecil itu. Rumah itu hanya memiliki tiga kamar kamar yang ia tinggali, kamar yang mungkin merupakan kamar tidur ibunya, dan dapur kecil yang juga digunakan sebagai ruang tamu. Semuanya tampak sederhana dan minimalis. Di luar, ia bisa melihat jalan tanah berdebu dan beberapa rumah bobrok yang sama sederhananya.

Hari-hari berlalu, dan Lunar mulai terbiasa dengan kehidupan sebagai Raia. Meski tubuhnya kecil dan lemah, semangatnya tetap kuat. Ia mulai membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah dan belajar tentang lingkungannya.

Lunar juga menemukan bahwa keterampilan prajuritnya belum hilang sepenuhnya. Ia selalu memiliki indra yang tajam dan kemampuan beradaptasi yang baik. Meski tubuhnya kecil dan lemah, nalurinya membuatnya ingin menyelidiki lebih jauh. Lunar tahu ada sesuatu yang tidak biasa di dunia ini, dan dia harus mencari tahu apa itu.

Lunar samar-samar mengingat cahaya keemasan yang membawanya ke dunia ini, tetapi lupa apa yang dikatakan cahaya keemasan itu. Bayangan kenangan ini menghantui pikirannya, seperti penggalan mimpi yang terus melayang di tepi kesadarannya. Setiap kali ia mencoba mengingat, yang ada hanya perasaan hangat dan damai yang menyelimutinya tanpa ada kata yang jelas.

Suatu hari, saat duduk di dekat batu dan mencoba mengingat, ingatannya mulai terbuka sedikit demi sedikit. Cahaya keemasan yang hangat dan cemerlang ini muncul di saat-saat terakhirnya sebagai pejuang terakhir umat manusia. Cahaya itu memberitahunya sesuatu yang penting, tapi kata-katanya masih belum jelas.

"Kamu harus... dunia ini... harapan..." penggalan kata mulai muncul di benaknya.

Saat mencoba mengingat, dia tiba-tiba mendengar langkah kaki. Lunar segera berdiri dan melihat seorang anak laki-laki mendekatinya. Anak itu berusia sekitar tujuh tahun, wajahnya penuh rasa ingin tahu.

"Raia, apa yang kamu lakukan di sini?" tanya anak itu.

Lunar mengenali anak itu sebagai Leo, teman bermainnya dari desa. "Tidak ada," jawab Lunar dengan sedikit senyum. "Apa yang membawamu kemari?"

"Aku sedang mencari buah. Kata Ibu kita perlu perbekalan lebih banyak untuk musim dingin," jawab Leo sambil menunjuk keranjang yang dibawanya.

Lunar mengangguk. "Oke, mari kita cari bersama."

Keduanya mulai mencari buah-buahan di hutan. Sementara itu, Lunar terus mengenang cahaya keemasan itu. Ia yakin pesan tentang cahaya penting untuk dipahami. Mungkin ada petunjuk di sekelilingnya, sesuatu yang bisa membantunya mengingat.

Setelah makan malam, Lunar pergi tidur namun pikirannya masih sibuk. Dia tahu di balik cahaya keemasan itu ada sesuatu yang menakjubkan, sesuatu yang bisa menjelaskan kenapa dia ada di dunia ini. Lunar bertekad untuk mengingat apa yang dikatakan cahaya keemasan itu, meski itu berarti menggali lebih dalam ingatannya yang kabur.

Seiring berjalannya waktu, Lunar semakin menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak biasa di dunia ini. Mimpi-mimpi aneh mulai menghampirinya, memperlihatkan pemandangan dunia yang hancur, pertempuran dahsyat, dan wajah-wajah yang tidak dikenal namun terasa akrab. Cahaya keemasan itu muncul kembali dalam mimpinya, kali ini lebih jelas.

Lunar terbangun dengan jantung berdebar. Pesan itu jelas, dan dia tahu bahwa dia memiliki tujuan di dunia ini. 

RAIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang