Di Ujung Barat Kerajaan Ronan
Seorang pemuda berambut pirang keemasan, berusia sekitar dua puluh tahunan, perlahan membuka matanya. Tatapan kosong menyelimuti wajahnya ketika ia memandang ke sekeliling. "Di mana ini...?" gumamnya dengan suara serak, hampir seperti bisikan.
Ia kemudian mengangkat tubuhnya dari ranjang besar yang berhias ukiran mewah, duduk dengan punggung tegak. Matanya menjelajahi ruangan di sekitarnya. Langit-langit tinggi dengan lampu gantung kristal, dinding berhias permadani elegan, dan lantai marmer yang dingin terasa begitu familiar. Seketika, ingatan itu datang menghampirinya.
"Ini... ruangan milikku," bisiknya penuh kebingungan. Namun, logika dan kenyataan tidak sejalan. Ia tahu ia tidak mungkin berada di sini.
Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam menusuk kepalanya, membuatnya mengerang dan mencengkeram sisi pelipisnya. Potongan-potongan memori berputar seperti badai di benaknya, masuk secara paksa dan tanpa ampun. Ia melihat dirinya di tengah pertempuran besar—darah, kehancuran, dan jeritan memenuhi udara.
Wajah iblis tingkat tinggi itu melintas dalam pikirannya, makhluk mengerikan yang memancarkan aura gelap pekat, dengan tawa yang membekukan jiwa. Ia ingat bagaimana iblis itu menaklukkan pasukan demi pasukan, menghancurkan harapan terakhir umat manusia. Dan di momen terakhir, ia merasakan kematian... pedang iblis itu menembus tubuhnya tanpa ampun.
Namun, sekarang ia berada di sini, di ruangannya. Bagaimana mungkin? "Apa yang sebenarnya terjadi?" pikirnya dengan kebingungan yang mendalam.
Tangan pemuda itu bergetar ketika ia mencoba merasionalisasi situasi ini. Matanya kini dipenuhi emosi campur aduk—takut, bingung, dan sedikit harapan. Siapa dia sekarang? Bagaimana ia bisa berada di tempat ini, setelah kematian yang begitu nyata?
Pemuda itu bangkit dari tempat tidurnya, tubuhnya sedikit goyah saat kakinya menyentuh lantai marmer yang dingin. la melangkah dengan hati-hati menuju meja di sisi ruangan, tempat sebuah cermin besar berdiri megah dengan bingkai emas yang berukir indah. Tangannya meraih tepi meja untuk menstabilkan tubuhnya, lalu ia mengangkat wajah, menatap bayangannya sendiri di cermin.
Mata biru keemasan yang tajam itu menatap balik padanya, penuh dengan keraguan dan ketidakpercayaan. la mengusap wajahnya perlahan, jari-jarinya menyusuri pipi yang mulus dan dagu yang tegas. Tidak ada bekas luka, tidak ada cacat sedikit pun.
"Ini... tidak mungkin," gumamnya, suaranya bergetar. Wajah itu adalah wajahnya-wajah yang ia kenali-namun seharusnya penuh dengan bekas luka dari pertempuran dan bekas sayatan dari masa lalunya.
Kenangan kembali menghantam dirinya seperti ombak yang ganas. la ingat tubuhnya yang terluka parah saat mencoba melindungi rekan-rekannya. la ingat rasa dingin yang merayap perlahan saat nyawanya direnggut oleh salah satu dari Tujuh Archduke Iblis, makhluk mengerikan yang telah memusnahkan segalanya dalam pertempuran besar itu.
"Apa yang terjadi...? Aku yakin aku sudah mati," ucapnya pelan, hampir tidak terdengar. Kengerian menyelimuti dirinya saat ingatan pertempuran itu kembali, terlukis jelas di benaknya. Ribuan, tidak- ratusan ribu prajurit telah tewas dalam pertempuran itu. Jeritan mereka masih terngiang di telinganya. Darah membasahi tanah hingga berubah menjadi lautan merah.
Namun sekarang, ia berdiri di sini, dalam tubuh yang sama namun tanpa bekas luka, tanpa rasa sakit yang ia alami saat itu. la mengepalkan tinjunya, mencoba merasakan sesuatu yang nyata di tengah kekacauan pikirannya.
"Pertempuran melawan salah satu dari Tujuh Archduke... memakan ratusan ribu korban jiwa. Apa artinya semua ini? Kenapa aku kembali?" pikirnya dalam hati, kegalauan semakin menguasai dirinya.
Dengan nafas yang semakin berat, pemuda itu melangkah mundur dari cermin, rasa asing terhadap dirinya sendiri mulai merasuk ke dalam hatinya. Namun, ia tahu satu hal pasti: ada alasan mengapa ia kembali, dan ia harus menemukannya.
Tak lama, pintu ruangan terbuka dengan suara lembut, dan seorang pelayan wanita masuk dengan langkah ragu. Wajahnya yang ramah dipenuhi dengan kekhawatiran saat ia melihat pemuda itu berdiri di dekat meja dengan ekspresi gelisah. Ia mengenakan seragam sederhana namun rapi, dengan pita kecil menghiasi kerahnya.
"Tuan muda, ada apa? Anda terlihat tidak biasa hari ini," ucap pelayan itu lembut.
Pemuda itu berbalik, matanya membelalak saat melihat wajahnya. "Jen? Kau masih hidup?" tanyanya, suaranya bergetar.
Pelayan bernama Jen itu mengernyit, kebingungan. "Apa maksud Anda, Tuan Muda? Tentu saja aku masih hidup... atau apakah Anda ingin aku mati?" Ia menambahkan sedikit nada bercanda, mencoba meringankan suasana.
Pemuda itu menggelengkan kepala dengan cepat, tangannya mengusap wajahnya. "Tidak, bukan itu maksudku... lupakan saja." Ia menatapnya dengan tatapan tajam. "Hei, tanggal berapa sekarang?" tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Jen menatapnya heran namun tetap menjawab dengan patuh. "Hari ke-14 bulan ke-5, tahun 677, Tuan Muda."
Pemuda itu terdiam, matanya perlahan membulat. "Hari ke-14... bulan ke-5... tahun 677...," ia mengulanginya pelan, pikirannya bekerja dengan cepat. Tubuhnya sedikit gemetar saat kenyataan mulai terbentuk di kepalanya. "Itu berarti... 20 tahun sebelum perang besar antara manusia dan iblis..."
Jen memperhatikan perubahan ekspresi di wajah tuan mudanya. Rasa cemas mulai menjalari dirinya. "Tuan Muda, apa Anda baik-baik saja? Anda terlihat pucat," tanya Jen, mendekatinya dengan hati-hati.
Pemuda itu menggeleng, mencoba menenangkan dirinya. "Aku baik-baik saja, Jen. Tidak perlu khawatir... Aku hanya... butuh waktu untuk berpikir."
Meskipun merasa bingung, Jen hanya mengangguk. "Baik, Tuan Muda. Jika Anda membutuhkan sesuatu, panggil saja aku." Dengan itu, ia membungkuk ringan dan meninggalkan ruangan, meninggalkan pemuda itu dalam kebingungannya sendiri.
-----------------
A little bit of Raia
KAMU SEDANG MEMBACA
RAIA
Fantasy#1 magic 21/10/2024 #4 petualangan 21/10/2024 #2 isekai 11/11/2024 Lunar, di dunia sebelumnya, adalah seorang pejuang terakhir umat manusia yang berjuang mati-matian melawan kegelapan hingga akhir. Setelah kematiannya, Lunar terbangun di dunia baru...