HAPPY READING
"Papa, aku benar-benar tidak tahu bagaimana perasaan Canny saat ini,"
"Bukankah aku sangat jahat padanya?"
Satu tetes air mata lolos dari netra tak berfungsi milik Pharita, membuat Ten didepannya hanya bisa menatapnya sendu tanpa berniat untuk merengkuh tubuh itu. Pharita tak mengizinkannya untuk menyentuh atau sekedar memberi afeksi selain menanggapi ucapannya.
"Sedari kecil, aku telah mengambil semua hal yang seharusnya milik kami berdua. Aku egois... aku tidak pernah berbagi apapun padanya."
Ten menyerah, dirinya mengerang pelan tanpa Pharita tahu. Pria itu menangis tanpa suara dengan menjauh dari sang anak.
"Papa akan kembali ke kamar. Kamu lekas tidur," ia menelan salivanya dengan kasar, "kita akan mencoba menemuinya besok."
Setelah itu, Ten keluar dari kamar Pharita menuju kamarnya. Meninggalkan Pharita yang kini memeluk dirinya sendiri sembari bergumam kata maaf untuk Canny sebanyak yang ia bisa. Penyesalan datang bertubi-tubi membuatnya tak bisa untuk sekedar tenang.
Sedangkan Ten meremas rambutnya frustasi. Dibalik pintu kamar yang tertutup itu, Ten menangis sejadi-jadinya. Rasa sakit dihatinya yang tak tahu tertuju pada siapa, membuatnya frustasi setengah mati. Ingatan tentang Canny yang menatapnya dengan kecewa sore tadi mampu membuatnya ikut merasakan kecewa yang gadis itu rasakan.
Dengan tubuh yang bergetar karena rasa sesak di dadanya tak dapat ditampik, Ten berjalan menuju ranjang. Pria itu mengambil sebuah album kenangan dari dalam nakas, lalu mulai membukanya perlahan dengan tangan bergetar.
Foto seorang bayi mungil yang tertempel rapih pada halaman pertama album tersebut menyambutnya. Wajah kecil dengan ekspresi meringis khas bayi yang baru lahir, menjadikan itu sebagai satu-satunya foto yang ada di dalam album tersebut.
Ten terisak, tak lama dirinya memeluk album tersebut.
"Maaf... maaf, hiks.."
"Maafkan Papa, Canny..."
Ten tahu ini bukan akhir. Ten tahu masih ada kesempatan yang menyambutnya jika dia dengan rasa bersalah bersedia bersimpuh di hadapan Canny untuk mengemis maaf. Ten tahu... tapi, apakah mungkin?
Setelah semua luka yang ia torehkan pada hati sang anak, apakah Canny masih akan memberinya kesempatan?
"Anak, ya?" Ten terkekeh miris, "apakah kamu masih sudi menganggap aku Papa mu, Canny?"
Sembari menatap foto masa kecil Canny di dekapannya, Ten bertanya lirih. Ten menatap penuh luka pada satu-satunya foto bayi Canny yang ia punya. Bahkan dirinya ingat jika foto itu diambil oleh salah satu pembantu rumah yang saat itu merawat Canny sepenuh hati. Tapi karena tindakan pembantu itulah, Canny kecil pada akhirnya kehilangan sosok pembantu yang merawatnya sepenuh hati karena Ten memecatnya.
Dulu, Ten sangat tidak suka jika ada orang yang bersimpati pada Canny kecil kecuali hanya untuk merawatnya. Selain itu dilarang keras, contoh kecilnya adalah pembantu yang merawat Canny tadi. Tindakan sang pembantu yang memotret Canny termasuk dalam simpati dalam kamus Ten, dan baginya tidak ada toleransi untuk hal itu.
Itu mengapa, seluruh orang di mansion tidak ada yang peduli dalam artian benar-benar peduli pada Canny hingga sekarang. Pengecualian untuk Pharita yang memang lebih manusiawi tanpa takut ancaman sang ayah, meskipun pada akhirnya sikap Pharita itulah yang membuat Ten terkadang bertindak di luar kendali pada Canny.
"Miyeon, kembalilah dan jelaskan semuanya! Hiks, aku tidak ingin kesalahpahaman ini terus berlanjut dan berakhir menyakiti banyak hati!"
Untuk sekarang hanya itu yang mampu Ten ucapkan, karena sejatinya Ten tahu jika dia akan menemui masa penyesalan atas sikapnya pada Canny. Nanti, Ten berharap Canny akan memberinya hukuman atas sikapnya yang terlampau menyakitkan untuk diingat pada gadis kecil itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
TWILIGHT : From Home
Fanfic[on hold] ❝Mari bersama menunggu senja, lalu menyambut suka di bawah atap yang sama❞ © matchavesper, 2024.