-Novi POV-
"Gila pikiran macam apa ini?"
Tak terasa, sudah 1 bulan aku bekerja di sini. Lama kelamaan aku makin senang mendengar suara tuan Nova. Dengan nada dominasinya yang kuat, seakan menarikku kedalam pesonanya. Mungkin aku sudah gila, tapi kalian akan melakukan hal yang sama jika ada didalam posisiku.
"Kok tuan ga pernah bawa perempuan ke rumah? Atau orang tuanya berkunjung kerumah ya? Atau mungkin... ah gak mungkin tuan Nova seorang homo." Pikirku dalam hati.
Ah gila. Pikiran macam apa ini, dengan perawakannya yang seperti itu, dengan wibawa dan hartanya yang melimpah pasti banyak wanita yang bersedia untuk menjadi pacarnya, bahkan jika hanya menjadi sekedar 'mainan'.
Suara bel mengalun ria dari luar rumah, aku melirik jam dinding, pukul 4.30 sore. Aku sudah tahu siapa yang datang. Tanpa sadar sebuah senyum terulas di wajahku.
"Iya sebentar tuan." Teriakku dari dalam kamar. Aku segera turun dari kasur, mencoba berjalan agak cepat untuk membuka pintu. Selalu, aku selalu menunggu-nunggu saat dimana tuan Nova pulang kerja, ya seperti anjing yang setia menunggu tuannya kembali ke rumah. Aku memang sudah jatuh ke dalam pesonanya.
"Silahkan tuan." Ucapku saat membuka pintu sembari tersenyum.
"Oh iya bi, terimakasih" Ujar tuan nova sembari menatapku. Hanya saja, ada satu hal yang mengganjal. Entah sengaja atau tidak, tuan Nova memegang bagian atas kepalaku, setelah itu ia berlalu masuk ke dalam rumah.
Jantungku serasa berhenti. Tangan kasarnya serasa menggengam dan mengendalikan pikiranku , aku merasakan sentuhan penuh kasih sayang, tapi ini sedikit berbeda, hawa dominasinya semakin kuat. Aku bergidik ngeri, aura tuan Nova begitu kuat. Seakan memerangkapku.
Aku menghela nafas sebentar.
'Tumben sekali, apa tuan lagi....'
Ah sekali lagi pikiran gilaku keluar dari kerangkengnya. Aku pasti salah. Karena ya, kalian tahu, tuan Nova memiliki apapun yang ia inginkan , jadi tidak mungkin jatuh cinta terhadapku. Ya tidak mungkin.
Aku hanya seorang perempuan desa, dengan tubuh mungil dan tampang pas-pasan, aku tidak mungkin cocok untuk menjadi pacar tuan Nova. Bahkan 'mainan' nya sekali pun.
Tunggu dulu, pacar ku bilang. Aku tertawa merendah. Aku pasti sudah gila. Mungkin aku terlalu sering memikirkan tuan Nova, dan beginilah hasilnya.
Aku memukul keningku pelan. Mencoba mengatasi debaran jantung yang tak mau berhenti ini.
"Bi! Bibi! Hari ini masak gak?" Teriak tuan Nova. Suaranya menggema, hingga aku dapat mendengarnya dengan jelas.
Aku segera berlari menuju dapur. Sedikir terengah-engah dengan debaran yang masih setia menghiasi.
"Eh.. masak kok tuan, tunggu sebentar tuan, biar saya siapkan." Sedikit menggaruk kepalaku yang tidak gatal, aku segera menyiapkan makanan untuk tuan Nova.
Duh gila, hanya dengan sebuah sentuhan saja bisa membuatku gila sampai seperti ini, seakaan melayang menuju langit ketujuh.
Bahkan sentuhan kecil itu bisa membuatku lupa akan tugasku. Tapi kemudian aku ingat sesuatu. Pintu depan belum aku tutup. Langsung saja aku berlari. Aku menutup kembali pintu yang gagangnya sempat ku pegangi sembari berfantasi terhadap sentuhan tuan Nova.
"Mati aku, tuan udah di meja, dan makanan sama sekali belum siap, mati aku, mati!" Ucapku dalam hati.
Sembari memarahi diriku sendiri, aku bergegas kembali ke dapur. Menghangatkan masakan yg sudah aku buat sebelumnya. Saat aku panik, tanpa sengaja aku menjatuhkan sendok sayur.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Slave, My Pride
Romance"Saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu, dan saya pengen kita jadi kekasih." Ia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru, membukanya lalu bersimpuh sambil berkata, "Mau kah kamu menjadi kekasihku?" Entah apa yang harus ku...