-Novi POV-
Awalnya aku ingin menolak. Bagaimana pun juga aku masih tahu diri, tidak mungkin aku membiarkan tuan Nova melakukan hal seperti itu. Lagi pula walaupun handphoneku ini sudah lama, tapi banyak sejarah yang mengiringinya. Ditambah hp ini juga merupakan pemberian dari pacarku.
Masalah itu bisa aku pikirkan nanti. Sekarang yang harus aku fokuskan adalah,bagaimana cara memutuskan hubungan ku dengan mas Adji?
Aku tidak bisa melakukannya. Hubungan kami sudah berjalan selama 3 tahun, dan rasanya sangat konyol bila aku mengakhiri hubungan kami hanya karena hal sepele seperti ini.
Memijat kening sambil memandangi layar handphoneku. Aku benar-benar bingung. Tak tahu harus melakukan apa. Aku berada dalam posisi yang sulit. Harus memilih pekerjaan atau kisah cintaku.
Rasanya kepalaku seakan ingin pecah. Aku tak kuat bila harus tertekan seperti ini terus menerus. Apa aku pergi saja dari rumah ini?
Huh. Aku tidak ingin pergi. Disamping itu, aku juga bisa membuat masalah yang rumit bila pergi meninggalkan rumah tuan Nova.
1jam sudah aku mendekam di dalam kamar. Mencoba mencari keputusan. Dan akhirnya, aku memutuskan untuk mengakhiri hubunganku dengan mas Adji. Berat memang. Tapi aku akan menjelaskan baik-baik kepada mas Adji. Semoga saja ia mengerti dengan keadaanku saat ini.
Aku pun mulai menghubungi mas Adji. Sudah tersambung.
Tutt... Tutt... Tutt..
"Hallo." Jawaban dari ujung sana sudah terdengar. Rasanya sangat sulit untuk mengeluarkan suaraku. Aku tak kuat. Aku tak ingin berpisah dari mas Adji. Air mataku sudah tumpah. Benar-benar tak dapat ku bendung lagi.
"Ada apa, Nov?" Sekali lagi mas Adji kembali membuat tangisanku semakin kencang. Aku hanya berusaha untuk mengendalikan emosiku, berusaha tidak terdengar menyedihkan. Aku tak ingin mas Adji khawatir.
"Nov?"
"Gapapa mas. Ada yang mau Novi bicarain."
"Kamu ini, aku kira kenapa. Kamu mau bicarain apa?"
Menghela nafas lagi, dan berusaha menguatkan diri.
"Mas, ada sesuatu yang terjadi. Tuan Nova gamau kalo aku pacaran."
Tidak ada jawaban untuk sesaat. Aku disini hanya bisa meremas bajuku dengan kencang sampai buku-buku jariku memutih ditambah dengan menggigit bibirku sendiri.
Aku tahu mas Adji menghela nafas disana. Dan aku yakin mas Adji pasti sangat terpukul dengan berita ini.
"Kamu mau kita putus?"
Sekarang aku tidak dapat menahannya lagi. Aku sudah menangis sejadi-jadinya. Juga tidak membalas perkataan mas Adji. Aku hanya menangis dan menangis.
"Hiks. Maaf mas. Hiks. Hiks.''
"Udah Nov. Jangan nangis. Kamu inget kan janji kita dulu?"
"Hah?"
"Kita dulu pernah buat janji, ga akan pernah nangis dan bersedih walaupun keadaannya sulit, kamu inget kan?"
"Iya mas, Novi inget."
Aku tidak bisa melupakan janji kami yang itu. Saat itu kami sedang berjalan-jalan di sawah, menikmati semilir angin dan sejuknya udara pada sore hari itu. Membuat janji satu sama lain. Bahwa kami tidak akan pernah menangis bagaimana pun keadaan kami, sesulit apapun, dan sebagaimana pun keadaan kami. Kami akan sama-sama kuat dan saling menguatkan satu sama lain.
"Bagus kalo kamu masih inget. Kalo gitu kamu jangan nangis oke? Aku ga ada disana Nov, jadi aku gabisa nenangin kamu."
"Mas, Novi bener-bener minta maaf.''

KAMU SEDANG MEMBACA
My Slave, My Pride
Romance"Saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu, dan saya pengen kita jadi kekasih." Ia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru, membukanya lalu bersimpuh sambil berkata, "Mau kah kamu menjadi kekasihku?" Entah apa yang harus ku...