-Novi POV-
Genggamannya begitu kuat. Membuatku tak dapat melepaskannya, aku hanya dapat berontak sembari terus memohon ampun.
"Tuan, saya minta maaf. Jangan hukum saya." Aku terus mengucapkan kalimat itu, tapi tuan Nova sama sekali tak mengindahkan perkataanku. Ia hanya terus berjalan, dan terus mengeratkan genggamannya.
Sedangkan aku hanya dapat pasrah menerima perlakuan tuan Nova. Mau berontak pun aku tidak bisa. Karena ya, aku hanya seorang pelayan. Selain itu kekuatanku lebih kecil jika dibandingkan dengan kekuatannya.
Sama sekali tak terpikirkan oleh ku. Apa yang akan tuan Nova lakukan padaku? Aku sangat takut, menyadari apa yang akan ku hadapi. Saat ini aku berhadapan dengan tuan Nova yang aku kenal dulu. Tuan Nova yang dingin dan tak berperasaan. Tuan Nova yang terus menerus mengintimidasiku. Juga tuan Nova yang selalu membuatku takjub dengan semua perlakuannya.
Mungkin aku bodoh. Aku sudah menyerahkan kehormatanku kepada tuanku sendiri. Tapi jangan salahkan perasaan yang tak dapat ku kontrol ini. Dalam hati, aku sangat mensyukurinya. Aku senang karena tuan Nova yang mengambil kehormatan itu. Aku senang karena aku bisa mendapatkan kesempatan yang sebelumnya tak pernah ku banyangkan -bahkan sejujurnya aku tak pernah membayangkan kejadian kemarin- . Aku mungkin adalah wanita yang beruntung.
Tapi percayalah, rasa takut itu masih ada. Selain memberi rasa bahagia, tuan Nova juga memberiku rasa takut yang semakin lama semakin membesar. Aku merutuki kebodohanku sendiri. Mungkin sebaiknya aku tidak terlalu jujur kepada tuan Nova, tetapi hey aku selalu diajarkan untuk berkata apa adanya oleh ibu. Dan itu sudah mendarah daging.
Sudahlah, tidak ada waktu untuk menyesal. Aku menghela nafas berat dan berusaha mengangkat wajahku. Ya, aku akan menghadapinya.
Menaiki anak tangga satu persatu. Tak sekali pun melepaskan genggamannya, malah semakin mengencangkannya. Itulah yang tuan Nova lakukan sekarang. Dan tentunya aku juga ikut menaiki anak tangga. Dan aku sadar, aku tahu kemana tujuan kami selanjutnya. Tidak lain dan tidak bukan adalah kamar tuan Nova.
Ajaib sekali, hanya dengan melihat pintu kamar tuan Nova sudah bisa membuat pipiku memerah. Aku kembali memikirkan kejadian kemarin.
"Oh ayolah Novi. Jangan pikirkan itu terus." Teriakku di dalam hati.
Ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan masa lalu.
Tuan Nova menghentikkan langkahnya tepat di depan pintu. Aku yang masih melamun langsung menabrak punggung kerasnya.
"Ma.. maaf tuan." Ucapku dengan suara yang bergetar. Tapi, yap. Tidak ada jawaban darinya. Ia hanya memutar kenop pintu, dan segera menarikku masuk ke dalam.
Aku dilemparkan ke dalam kamarnya begitu saja. Mungkin karena efek melamun tadi, sehingga refleksku kurang, dan hasilnya aku terjatuh di lantai. Tidak terlalu sakit memang, tapi tetap saja. Rasanya sangat malu, dan aku baru menyadari satu hal. Ternyata aku memang sangat lemah.
Tuan Nova menutup kembali pintu kamarnya, tak lupa menguncinya. Aku masih memegangi pergelangan tangan serta lutut. Rasanya sakit. Aku tak memperhatikan tuan Nova, dan hanya fokus dengan bagian tubuhku yang terasa sakit.
Dan tanpa aku sadari, tuan Nova sudah berdiri di hadapanku.
--------------------------------------------------
-Nova POV-
Aku memperhatikannya. Sejak awal dia memang sudah mencuri perhatianku. Dan ketika aku sadar bahwa dia begitu polos, itu membuatku semakin menyukainya. Aku tidak berbohong soal itu. Aku sungguh menyukainya, gadis polos dengan penampilan sederhananya. Sungguh menggemaskan juga menggiurkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Slave, My Pride
Romance"Saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu, dan saya pengen kita jadi kekasih." Ia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru, membukanya lalu bersimpuh sambil berkata, "Mau kah kamu menjadi kekasihku?" Entah apa yang harus ku...