-Author POV-
Kakinya melangkah lebar - lebar, membunuh jarak yang membentang dari kamar bertuliskan ruangan 261 menuju sebuah ruangan. Ruangan pucat nan sunyi, seakan bunyi napas pun dapat kau dengarkan.
Matanya meneliti setiap ruangan yang ia lewati, tak ingin kehilangan setitik informasi apapun, bahkan poster bertuliskan 'Bahaya rokok' sekalipun tak lupa ia baca. Sambil memasukkan tangannya ke dalam saku celana, ia menekan kuku - kuku jarinya, sampai segugup itukah aku? Tanyanya dalam hati.
Setelah beberapa detik yang terasa membunuh, akhirnya penantiannya tiba.
Ruangan dengan tanda bertuliskan dr. Sucipto Hadibromo pun ia temukan.
Terdiam sejenak di depan pintu. Nova menghembuskan napasnya beberapa kali. Perasaan gugup itu kembali mencekam raganya, rasa takut, cemas, khawatir, semua melebur bagaikan ombak yang siap meluluhlantahkan pendiriannya. Ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tanpa sadar, tangan yang berada di dalam saku celananya berubah menjadi sekaku es. Jantungnya berdetak tak karuan seakan - akan nyawanya akan dicabut oleh sang Maha Kuasa.
Hey, kenapa ini? Dimana sosok Nova yang dulu tak pernah takut apapun?
Sekali lagi ia menarik napasnya dan mencoba memantapkan hatinya.
Pintu pun terbuka. Seorang dokter yang sedang memeriksa file - file pasien miliknya menengadahkan kepala.
Tersenyum, ia berdiri dan menyambut pria yang baru saja datang dengan menampakkan wajah penuh kekhawatiran, auranya pun sangat berbeda. Berbagai macam perasaan melebur menjadi satu di sana.
"Mari duduk." Ucapnya dengan ramah, tak lupa senyum khasnya ia tampilkan sekadar untuk mengurangi aura penuh kecemasan dari pria yang ada di hadapannya itu. dr. Sucipto pun kembali duduk di kursinya yang berlapis kulit.
Di depannya, Nova terdiam sebentar. Matanya menatap ruangan di sekelilingnya, meneliti sudut demi sudut. Dindingnya berlapiskan cat berwarna putih, terlihat nyaman dan hangat. Tak lupa di sana tergantung berbagai macam piagam penghargaan, entah itu penghargaan internasional, atau penghargaan dari IDI -Ikatan Dokter Indonesia- sudah tidak bisa diragukan lagi, dr. Sucipto adalah dokter yang sangat berkompeten di bidangnya, tapi, kenapa Nova seakan tidak dapat mempercayainya?
Beberapa menit ia terdiam, dr. Sucipto hanya memandanginya tanpa sekali pun mengalihkan pandangannya atau memulai pembicaraan.
"Santai saja, anda boleh duduk."
Mendengar hal itu, Nova tersentak. Ia baru sadar bahwa sedari tadi ia masih berdiri. Nova pun akhirnya duduk.
"Apa ada sesuatu yang tidak beres, dok?" Jemarinya meremas celananya di bawah meja.
dr. Sucipto tersenyum, "Pasien mengalami cedera yang cukup parah. Fisiknya mungkin sudah membaik, tapi saya percaya bahwa batinnya sama sekali belum membaik, mengingat kejadian yang sudah ia alami."
DEG.
Hatinya mencelos seketika.
"Maksud dokter apa?"
"Penyakit yang harus kita waspadai bukanlah penyakit fisik, melainkan penyakit batin. Saya khawatir pasien mengalami depresi yang nantinya bisa mempengaruhi kondisi fisiknya. Jadi, saya sarankan untuk membawa pasien ke tempat terbuka. Biarkan pasien menghirup udara segar, beri dia kebahagiaan agar ia bisa melupakan masalahnya. Saya yakin, hal tersebut akan memberi dampak yang sangat baik bagi pasien. Setidaknya, Anda bisa memberikan energi positif kepada pasien."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Slave, My Pride
Romance"Saya suka sama kamu, saya cinta sama kamu, dan saya pengen kita jadi kekasih." Ia lalu mengambil sesuatu dari saku celananya. Sebuah kotak beludru, membukanya lalu bersimpuh sambil berkata, "Mau kah kamu menjadi kekasihku?" Entah apa yang harus ku...