4. Kita Mesti Jadian

92 10 2
                                    

Tuhan pasti sedang ngambek. Tepatnya ngambek padaku karena berdoa meminta yang aneh-aneh beberapa waktu lalu. Siapa suruh berdoa kok minta pacaran.

Tcih, Tuhan nggak mungkin merestui semudah itu kepada hamba yang nggak baik-baik amat ini. Berdoa minta sesuatu di jalan yang lurus saja dikabulkannya harus banyak cobaan dulu, apalagi minta yang dijalan tikungan.

Pasti Tuhan berseru, Fifi, permintaanmu itu impossible. Miki sudah punya yang lain. Kalau tidak percaya, nih!

Maka dari itu dalam setengah jam terakhir aku merasa seperti diseruduk lautan fakta. Miki nggak suka aku, dia sampai bikin grup yang nggak ada aku di dalamnya. Teman-temanku juga ternyata bajingan bermuka dua. Kemudian, seakan kurang pas juga cobaanku, aku harus melihat kalau selera cowok yang kutaksir itu super hot.

Si cewek itu benar-benar kelihatan kayak model, bahkan mungkin lebih cocok jadi anak artis daripada aku sendiri. I mean, dia tuh cantik banget. Bukan cantik yang imut-imut tapi cantik dewasa. Rambutnya bergelombang rapi yang pasti dirawat baik-baik di salon mahal, body-nya proporsional plus seksi menonjol di bagian yang bakal bikin cowok-cowok ngiler, dan style bajunya trendy tapi nggak norak. Kalau Papa lihat dia, cewek itu mungkin bakal digaet jadi pemain film bertarget anak muda seumuran kami.

“Hati-hati Fitznina, jangan ketipu sama senyum manisnya,” bisik Yanda tepat di samping telingaku.

Aku kaget dan langsung menoleh ke kiri, mukaku sontak berhadapan sangat dekat dengan wajah Yanda. Cowok itu nyengir lebar banget. “Hah! Apa-apaan lo!” seruku marah dan langsung kudorong kasar cowok itu.

“Aw! Aaaw!” seru Yanda sembari memegangi dadanya. Badannya membungkuk seakan sedang menahan sakit yang amat sangat. Rambut hitamnya berjatuhan menutupi dahinya. Matanya terpejam erat.

Heh, kenapa nih anak? Kesurupan apa gimana heran.

“Aduh, aduuuh! Sakit banget dada gue!”

Dadanya sakit? Masa dia luka sih? Masa aku nggak sengaja gores dia sampai nembus jaket? Nggak mungkin lah. Orang aku dorong dia juga nggak sekeras itu. Kukuku juga nggak panjang kok, cowok ini aja yang lebay.

“Berani-beraninya lo!” Yanda berseru kepadaku dengan ekspresi kesakitan. “Lo ngambil apa barusan? Kok dada gue jadi sakit banget?”

Aku mengernyit. Lah? Ngambil apaan gilak! Sembarangan aja nuduh!

“Gue cuma dorong lo! Nggak mungkin sesakit itu, lemah banget lo!”

Yanda menurunkan ritsleting jaketnya, lalu dengan ekspresi syok dia meraba-raba dadanya yang ditutupi kaus hijau tua. Yanda berkata dengan wajah panik dan kaget, “Loh, hati gue hilang! Hati gue yang berharga udah raib!”

“Hah?” Aku bergidik jijik mendengar kalimatnya yang absurd itu.

Cowok-cowok baik dari geng Sakti dan geng Cobalt melongo melihat tingkah cowok bernama Yanda ini. Taruhan mereka juga merasa jijik dengan Yanda. Bahkan si cewek yang disebut Yanda tukang selingkuh terlihat memutar mata dengan kedua tangan bersilangan di dada. Yah, pantas kalau dia selingkuh dari Yanda sih, orang kelakuan cowok itu aja bikin mual gini.

Tapi bukan berarti bisa selingkuh seenak jidat dong! Terus bisa-bisanya Miki mau-mau aja jadi selingkuhan cewek itu huh!

Yanda kembali mendongak, matanya otomatis langsung menatapku. Wajah Yanda terlihat sangat marah hingga aku agak kaget melihatnya. Tapi aku menyesal khawatir sesaat mengira bahwa aku memang melukai cowok itu, karena detik berikutnya Yanda berseru, “Lo nyuri hati gue kan? Ngaku lo!”

Demi ribetnya namaku ini dan segala sumpah serapah yang ada di muka bumi ini, tolooong deh! Bisa-bisanya Tuhan biarin ada manusia senggak jelas cowok satu ini? Cowok penuh drama ini jadi ketua geng motor?

“Nggak lah! Gila lo! Ngapain coba gue nyomot hati lo yang nggak berharga buat gue dasar sinting!” semburku ke cowok itu. Tapi kayaknya cowok satu ini memang nggak punya urat malu.

Dia mengabaikan perkataanku, menggeleng-gelengkan kepala seperti aku ini anak nakal yang habis nyoret-nyoret motor birunya pakai krayon. “Aduh, nggak bisa dibiarin nih! Kita mesti jadian!”

“Hah?” Miki bereaksi kaget. Sementara itu, Dewa sudah bersiap ancang-ancang untuk melemparkan helmnya ke Yanda tapi ditahan oleh Eka.

Aku sendiri berjengit ngeri mendengar seruan Yanda.

“Hah! Ogah! Lo nggak waras!” seruku dengan nada segalak mungkin. “Gue nggak mau jadian sama lo!”

“Tapi gue suka banget sama lo!” seru Yanda dengan nada yang sama ngototnya denganku. “Gue suka banget, naksir berat. Gue—eh ralat bentar kan mesti lebih sopan sama pacar—aku cinta berat sama kamu!”

“Ih! Iiih!” seruku sembari menutup telinga. Rasanya telingaku berdarah-darah karena mendengar kalimat Yanda itu. “Lo gila! Nggak waras! Nggak jelas banget tiba-tiba bilang suka blablabla! Gue nggak mau dengar ocehan lo!”

Oh Tuhan, kok gini, kok tiba-tiba gini? Aku mau pulang aja kalau begini jadinya. Ketemu sama orang nggak waras kayak cowok ini lebih ngeri daripada membayangkan Miki dkk membicarakan aku di belakang.

“Beneran loh, jantungku berdebar gila-gilaan sekarang. Nih kalo nggak percaya!”

Yanda menyambar tanganku dan langsung menempelkan telapak tanganku ke dadanya. Memang benar telapak tanganku dapat merasakan jantung cowok itu berdebar cepat dan keras. Buru-buru kutarik tanganku sementara kaki kiriku menendang tulang kering Yanda cukup keras hingga cowok itu mengaduh.

“Aw! Aduh, kamu nendangnya niat banget ya,” keluhnya sembari melompat-lompat dengan satu kaki sementara tangannya memegangi kaki yang barusan kutendang. “Berarti bener kamu tipe yang tegaan.”

Yanda kembali nyengir kuda lalu berdiri seakan nggak merasakan sakit lagi. Cowok itu merapikan jaketnya. Sementara itu mataku berkedut-kedut, gemas ingin menendang cowok ini lagi. Kalau bisa sampai dia terjungkal.

“Ini? Ini ketua geng Cobalt? Cowok sok kenal sok dekat, dramatis, dan masokis ini? Jijik!” seruku ke cowok-cowok anggota geng Cobalt. Mereka berekspresi seakan berkata, Lo baru tau? Ke mana aja lo?

“Mulutmu …,” kata Yanda sembari menutup mulut. Cowok itu lalu mengusap sudut matanya seakan-akan ada air mata di sana. “Sadis banget kamu, tapi aku suka. Sekarang makin jelas kalau kamu itu tipeku banget, Fitznina. Kita pasti cocok buat jadi pasangan sehidup semati. Makanya kita mesti—”

Miki memotong kalimat Yanda dengan berseru galak, “Sudah cukup drama lo sialan! Gue udah muak!”

Makasih sudah mewakili perasaanku saat ini, Miki. Benar, si Yang Ndak Punya Otak ini memang bikin enek. Tapi aku masih marah sama kamu pokoknya.

“Apaan sih lo ganggu banget jadi orang. Suka banget ngerusak kesenangan orang, pantas aja lo mau jadi selingkuhan daripada jadi pacar pakai cara yang baik-baik,” ujar Yanda.

“Lo juga bukan pacar yang terbaik buat Nayula,” sergah Miki.

Aku tersenyum kecut. Oh jadi si cewek itu namanya Nayula. Namanya kedengaran terlalu manis buat body-nya yang kelewat semok itu.

Lalu seakan mendapat ide brilian lain yang bakal bikin hidupku tambah runyam, Yanda kembali tersenyum nakal ke arahku lalu berseru ke Miki. “Oh iya gue baru ingat. Berhubung gue udah nggak doyan sama si Nayula, gue mau ubah perjanjiannya.”

“Apa maksud lo?” tanya Miki dengan dahi berkerut. “Sebaiknya lo nggak minta sesuatu yang nggak pantas buat lo terima.”

“Oh nggak kok, ini bukan buat aku sih tapi buat kebaikan pacarku Fitznina.”

Aku bukan pacarmu! Seenak jidat banget cowok ini nyerocos nggak berdasar fakta! Sadar woi! Tapi aku nggak sempat menyahut perkataan Yanda karena cowok itu kembali berbicara.

“Gue ubah perjanjiannya. Kalau gue menang,” ujar Yanda, “Fitznina harus keluar dari geng kalian!”

Hello, Fifi!🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang