6. Paling Benci

74 9 0
                                    

Arena balapan ini hanyalah lapangan dengan aspal sebagai tempat berkumpul, latihan, atau dimulainya balapan. Sebenarnya arena itu luas, tapi cowok-cowok nggak pernah setuju kalau balapan besar cuma di arena. Harus di jalan sesungguhnya! kata Bang Sakti dulu.

Mungkin maksudnya Biar gereget!

Padahal ngebut di jalan raya yang kemungkinan bakal dilalui orang lain kan bahaya. Tapi bodoh amatlah, mereka pengen bebas. Aku sendiri suka ngebut waktu naik motor. Tapi yaaa masih sayang nyawa, jadi lebih berani pas arena aja.

Sementara itu, rute balapan kali ini pun pastilah sudah ditentukan oleh Miki atau Yanda.

Biasanya aku tau rute balapan yang akan diadakan karena pasti akan dibahas di grup terlebih dahulu. Tapi kali ini aku nggak tau sama sekali, menyebalkan. Makanya aku jadi nggak bisa memperkirakan waktu tercepat sampai ke garis finish.

Aku juga nggak bisa memperkirakan siapa yang bakal menang, karena nggak pernah melihat kemampuan Yanda mengendalikan motornya dalam balapan.

Ugh, malah jadi cemas sendiri.

Aku nggak mau Miki menang, dan lebih nggak mau lagi kalau Yanda menang. Siapa pun pemenangnya nggak bikin aku untung malah apes.

Iiih! Kenapa sih malah aku yang paling rugi padahal mereka yang punya masalah? Sebegini besarnya karmaku cuma karena berdoa biar jadi pacarnya Miki? Nggak adil ah!

Kutendang kerikil yang berserakan di atas aspal dengan ujung sepatuku, sebagai pelampiasan emosi.

"Fifi!"

Aku menoleh ke belakang. Eka tengah melambaikan tangan padaku, memanggilku untuk mendekat kembali ke sana. Tempat di mana Dewa, Gaib, dan Reana menunggu Miki sampai ke garis finish.

Tapi setelah semua yang kudengar tentang grup tanpa diriku itu, aku jadi malas untuk berbicara dengan Eka dan yang lainnya. Kuabaikan panggilan Eka. Huft, kalau toh mereka mau bicara penting biar mereka sendiri yang mendatangiku.

Aku kembali membuang muka, mengalihkan perhatianku.

Nggak berselang lama, terdengar suara seseorang berlari ke arahku.

"Fifi!" Kali ini Gaib yang mendatangiku.

Aku malas menatap cowok itu.

"Fi," panggil Gaib yang sekarang berdiri di belakangku. "Fifi, plis, kami mau ngomong sama lo. Kalau lo menjauh gini kami jadi bingung harus bersikap gimana ke elo."

"Ya terserah kalian sih, lagian kalian kan kayaknya udah nggak mau temenan lagi sama gue," kataku tanpa berbalik menghadap Gaib.

"Fi ... Miki yang bikin grup itu, kami cuma—"

"Tapi kalian tetap di grup itu kan? Kalian pasti tetap iya-iya aja kalau Miki bilang dia nggak suka sikapku, dia benci aku. Sejak kapan dia bikin grup itu?"

"Satu bulan lalu," jawab Gaib.

"Jadi benar ...," gumamku. Jadi semua yang dikatakan Miki tadi serius. "Dan kalian setuju sama Miki kan? Gue sok ngatur sok cantik dan sebagainya. Padahal kalian bisa ngasih tau kalau gue udah kelewatan."

"Maaf, Fi," kata Gaib. "Lo tau sendiri Miki kalau sudah marah beneran nggak ada yang bisa ngendaliin."

Gaib nggak mengelak kalau dia punya penilaian yang sama dengan Miki tentang aku. Berarti mereka semua, selama satu bulan ini atau bahkan lebih lama sebelumya, memasang topeng di depanku.

Bisa-bisanya mereka tetap berlagak biasa, bercanda denganku, padahal di belakang aku ini topik buat ditertawakan mereka.

"Nggak apa-apa sih, lagian kalau kalian emang nggak suka gue ya gue bisa apa. Yaah, kalau gue ada salah sama kalian gue minta maaf," kataku.

Hello, Fifi!🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang