26. Kocak

101 11 0
                                    

Sebenarnya rencanaku hari ini ngapain sih? Benar, kuliah! Ngang ngong mendengarkan dosen, isi presensi, menghadapi tatapan orang-orang kampus yang masih kepo soal video nggak senonoh itu terus buru-buru pulang. Udah itu aja sih.

Tapi belum smapai jam 8 pagi, aku sudah dilanda huru-hara. Darahku benar-benar mengalir merah segar. Dan sakiiit banget haaaargh!

"Fifiii! Ya ampun! Fifi!" Suara cewek berseru memanggil namaku dari arah depan.

Aku mendongak dan melihat Reana tengah berlari panik menghampiriku. Cewek itu nggak peduli kepangan rapinya terlepas. Ia langsung membantu menyingkirkan percahan kaca dari kepalaku menggunakan sapu tangan. Ia juga menatap ngeri pada tangan kiriku yang masih mengucurkan darah.

Darah di tanganku, darah di lengan, darah menetes di atas cor keras yang emggores lututku. Sesaat aku berkedip dan pandanganku dipenuhi warna merah. Namun, saat aku membuka mata rasa senang memenuhi dadaku karena akhirnya bisa bertemu lagi dengan Dewa dan Reana.

Jauh di dalam, sebenarnya aku kangen teman-teman lamaku.

"Hai," kataku ke Reana.

"Kok bisa! Aduh, aduh banyak banget darahnya!" seru Reana panik. Cewek itu menolak ke belakang, Dewa berlari panik menghampiri kami. "Kita langsung ke rumah sakit aja! Luka Fifi parah banget!" seru Reana ke pacarnya.

Dewa yang baru sampai masih terengah-engah. Cowok itu berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia menatap padaku dengan kaget dan khawatir, lalu menoleh ke arah Nayula dan Gaib. Dewa seketika marah besar ke dua orang itu.

"Kalian berengsek! Kelewat batas!" seru Dewa.

"Udah mereka nanti ajaa! Ayo bantuin Fifi ke rumah sakit! Dia juga habis kecelakaan kan, gimana kalau tambah parah?!" seru Reana.

Dewa melemparkan tatapan murka ke Nayula dan Gaib, Gaib segera maju menutupi cewek itu. Namun, Dewa sudah nggak peduli dan membantuku berdiri.

"Pelan-pelan, Fi," kata Dewa. Ia meringis melihat lukaku. "Duh gede banget kacanya."

"Jangan dicabut nanti darahnya makin banyak keluar!" seru Reana. Cewek itu panik merogoh-rogoh ke dalam tas. "Aduh mana sih kunci mobilnya?"

"Masih di mobil," sahut Dewa. "Ada luka lain nggak? Lo bisa jalan?"

"Bisa," sahutku. Suaraku ternyata serak dan menyedihkan. "Uhuk-uhuk!" Aku berdeham berniat menyahut Dewa lagi tapi keburu Reana berseru panik. Kelewat panik.

"Udahlah Fifi digendong aja! Kita ke rumah sakit sekarang!" seru Reana.

Cewek itu segera lari menuju mobilnya di parkiran. Dewa tanpa bertanya lagi langsung menggendong badanku. Luka di tanganku memang sakit, tapi entah kenapa rasa malu jauh lebih menguasaiku.

Cewek-cewek di dalam kafe mengambil video, dua cowok yang berdiri di dekat meja kasir sudah keluar menatap kami heran. Perhatian orang-orang di sekitar kafe itu juga langsung tertuju padaku yang berdarah-darah dan tengah dibopong Dewa masuk ke mobil.

***

Lukaku lumayan parah, enam jahitan di telapak tangan dengan peringatan nggak boleh dibasahi sebelum 24 jam. Sekarang aku tengah berbaring di kasur rumah sakit. Ditemani Reana dan Dewa yang keukeuh menolak kuusir biar mereka masuk kuliah.

"Surat izin lo udah dikasih ke dosen, aman. Tapi kami nggak boleh ngasih tau Tante Karenina?" tanya Reana.

"Jangan, bisa gawat kalau Mama tau lukanya separah ini. Nanti gue bakal dilarang masuk kuliah lagi," kataku ke Reana.

Reana melirik ke Dewa, meminta pendapat pacarnya. Dewa menghela napas lalu balik menatap serius padaku.

"Gue dengar lo habis kecelakaan, sampai-sampai nggak bisa masuk kuliah seminggu ini," kata Dewa. "Tapi gue nggak dengar ada berita kecelakaan di jalan raya."

Hello, Fifi!🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang