Rasa-rasanya aku nggak pernah secapek ini.
Padahal tadi malam aku cuma marah-marah. Capek fisik itu pun cuma karena lari sebentar, dan nabok kepala si cowok freak itu sekali. Nggak puas ah, harusnya sekalian ku-sleading kepalanya tadi malam.
Tapi sumpah, rasanya mentalku lagi capek banget. Udah sakit hati sama Miki dan kawan-kawan, kesulut emosi gara-gara si Nayulalala itu, belum lagi harus menghadapi drama nggak berkualitas si Yanda.
“Oh Tuhan, capek banget hamba, sebegitunya nggak direstui pacaran sama Miki?” gerutuku.
Sudahlah, buat sekarang aku harus bisa move on dari Miki. Pokoknya hari ini aku nggak boleh sampai ketemu dengan Miki dkk.
Sekarang aku tengah bercermin di meja rias kamar. Mukaku kelihatan kayak cewek pms yang siap buat ribut karena masalah paling sepele di muka bumi. Yah, seenggaknya sunscreen, makeup natural, dan lipstik yang Mama beli bisa menolongku menutupi betapa jeleknya mood-ku hari ini.
Aku lalu turun ke lantai satu dan langsung menuju meja makan.
Mama dan Papa sudah menungguku di sana. Papa tengah duduk menyeruput kopi pagi, sedangkan Mama menata sarapanku di meja makan. Rutinitas yang selalu kami lakukan setiap pagi sebelum berangkat kuliah dan Mama Papa bekerja.
"Pagi Ma, Pa," sapaku.
"Pagi, Sayaang," sapa Mama ceria. Mama menarik kursi untukku lalu mencium keningku. "Ih, tumben anak Mama mau dandan cantik sendiri. Ada angin apa ini?"
Ah Mama ... aku langsung manyun. Padahal aku mau pura-pura kesurupan setan penata rias, tapi Mama langsung sadar kalau makeup-ku lebih daripada sunscreen dan bedak two way cake biasanya. Emang kelihatan banget ya? Padahal ini eyeshadow cerah sama concealer paling pas buat shade mukaku lho.
"Nggak apa-apa, Ma. Fifi lagi gabut banget tadi," jawabku.
Aku mengangguk sebagai bentuk terima kasih pada Bu Bella, ART di rumah kami yang menyajikan jus jeruk padaku.
"Silakan, Non Fifi," katanya ramah.
"Makasih," ujarku.
Aku lalu menyantap sarapan pagi berupa roti panggang isi alpukat, telur, dan daging serta selada. Mama dan Papa makan menu yang sama denganku.
"Sayang, kamu tadi malam pulang jam berapa?" tanya Papa.
Aku pura-pura sibuk mengunyah sembari menjawab hampir nggak jelas, "Ham sehelas malam."
Papa yang sudah selesai sarapan menghela napas. "Fifi, sekarang kan kamu sudah semester empat, Sayang. Bukannya lebih baik kalau kamu lebih fokus ke akademik aja? Daripada main-main terus apalagi kebut-kebutan," kata Papa.
Roti isi yang tadinya enak langsung terasa seperti kardus di mulutku. Susah payah kutelan makanan itu dengan bantuan jus jeruk.
Aku lalu menjawab, "Iyaa, Pa. Habis ini kayaknya Fifi nggak main lagi sama mereka, Pa."
Papa berkedip-kedip, terlihat bingung dan hampir nggak percaya. Yaa, sebenarnya Papa sudah lama memprotes kebiasaanku pulang malam karena sibuk nongkrong. Aku pun juga selalu mengabaikan protes Papa karena toh buktinya aku baik-baik aja. Nggak ada kejadian yang bahaya. Aku toh meski ngebut tetap hati-hati biar nggak sampai dikejar polisi.
"Eh kenapa? Kamu berantem sama teman-teman kamu?" tanya Mama yang juga menyimak.
"Gitu deh," kataku sambil lalu.
Mama dan Papa saling lirik tapi kemudian mengalihkan pandangan satu sama lain. Aku yang menyadari hal itu seketika merasa aneh. Biasanya mereka bakal mengirim kode-kode mata yang selalu membuatku heran, tapi kali ini enggak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Fifi!🔞
RomanceFifi ingin menjadi pacar ketua geng motor yang sudah lama ia puja, Miki. Namun, ternyata Miki sudah menjadi selingkuhan Nayula yang masih berpacaran dengan Yanda, si ketua geng musuh mereka. Demi mencegah kerusuhan antar geng motor, Fifi akhirnya di...