3. Diamlah Wahai Durjana

86 9 0
                                    

“Gue nggak suka lo!” seru Miki.

Aku tersentak mendengar seruan cowok itu yang kini berekspresi seakan aku ini musuhnya. Kakiku refleks mundur selangkah karena kaget.

Miki nggak suka aku.

Hatiku berteriak kenapa dan sakit di saat yang bersamaan. Tapi melihat ekspresi marah Miki, aku kembali teringat bahwa aku punya alasan yang lebih kuat untuk marah ke cowok ini. Kutahan sakit hatiku demi sanggup bersuara lagi.

“Lo?” tanyaku menunjuk ke Miki. “Lo nggak suka gue? Itu aja alasan lo? Jadi kalian bikin grup dalam grup, bareng cewek kalian tapi tanpa gue karena lo nggak suka gue?”

“Gue benci lo, Fi,” kata Miki.

Kalimat Miki lagi-lagi menusuk hatiku.

Miki lalu kembali berseru, “Gue benci lo ngatur-ngatur geng kita kayak bos!”

“Itu karena lo, Miki! Lo itu nggak bijak ngambil keputusan belakangan ini! Balapan lo yang terakhir kali juga terlalu liar sampai kita harus bermasalah sama polisi!” seruku.

Aku ingat harus dibentak-bentak polisi karena kesalahan cowok ini, waktu itu aku masih bisa tahan karena mungkin Miki nggak sengaja. Tapi kalau Miki berkata aku mengatur kayak bos, itu juga karena demi kebaikan dia. Nama geng Sakti yang diamanahkan ke kami juga bakal terpengaruh kalau Miki salah langkah, ‘kan?

Pertengkaran kami, terutama suara marahku dan seruan Miki tadi pasti menarik perhatian anggota geng Sakti yang lain. Biarin juga mereka lihat kami berantem, toh kami memang sering ribut belakangan ini.

“Dan sekarang lo malah mau balapan sama ketua Cobalt? Kenapa dia sampai nantang lo?” tanyaku.

“Bukan urusan lo!” seru Miki.

Cowok itu menunjuk wajahku dengan jarinya. Perbedaan tinggi badan kami membuatku harus mendongak. Sesuai dengan yang aku bilang sebelumnya, Miki ganteng seperti malaikat maut.

Miki berbicara marah padaku dengan berkata, “Lo nggak punya hak buat ngatur-ngatur gue, Fi. Cuma mentang-mentang kita udah temenan lama bukan berarti lo bisa ikut campur urusan gue! Gue udah lama muak sama lo!”

“Terus kenapa nggak dari lama itu lo bilang ke gue! Kalau gue nggak tau soal grup itu berarti lo bakal terus diam seakan lo teman gue padahal bukan?!” seruku. Jantungku berdetak lebih cepat, mataku terasa perih. Aduh sialan, aku nggak mau nangis di depan Miki dan yang lainnya. “Kenapa lo sampai repot-repot bikin grup itu? Buat ngomongin gue di belakang, kan?!”

“Iya, gue ngomonin lo di grup itu! Gue bilang ke mereka kalau lo sok ngatur, sok cantik, bossy, dan lo sebenarnya ngarep bakal bisa jadi pacar gue padahal gue—” Telunjuk Miki menunjuk wajahku lagi hingga aku hampir melangkah mundur karena takut padanya. Miki lalu melanjutkan kalimatnya dengan berkata, “Gue benci banget sama lo!”

Aku tau Miki memang selalu tegas dan blak-blakan. Tapi meski kami memang sering berdebat belakangan ini, meski Miki memang suka berkomentar pedas pada yang lain, Miki nggak pernah sekali pun sampai menunjuk-nunjuk wajahku. Aku juga tau kalau cowok ini selalu bertindak dengan alasan yang jelas.

Jadi apa dia memang sebenci itu padaku? Apa dia benar-benar nggak suka sikapku yang kulakukan demi kebaikannya? Selama ini dia juga tau kalau aku punya perasaan padanya … dan dia malah menginjak-injak hati juga harga diriku.

“Dasar muka dua!” seruku.

Miki terlihat makin murka mendengar seruanku. Cowok itu sudah siap untuk membalasku, tetapi saat itulah suara keras knalpot motor membuat perhatian kami teralihkan. Sebuah motor biru gelap memasuki jalan aspal arena dengan kecepatan tinggi. Para anggota geng Cobalt yang masih menaiki motor mereka membalas dengan ikut menggeber knalpot.

Motor biru gelap itu memutari kami. Remnya berbunyi halus saat berhenti … tepat di depanku, memisahkan aku dan Miki. Cowok yang mengendarai motor itu mengenakan jaket identitas geng Cobalt.

“Yo!” seru cowok itu sembari mengangkat tangan ke arahku.

Aku mengernyit melihat kelakuan cowok ini. Apaan sih? Sok akrab banget kan kita beda geng, bego!

Cowok itu melepas helm, dan langsung menggeleng-gelengkan kepala begitu helmnya lepas. Aku nggak pernah ketemu cowok ini secara langsung sebelumnya, tapi aku sudah tau siapa dia.

Cowok dengan rambut dicat merah gelap ini bernama Yanda, ketua geng Cobalt. Yanda kini nyengir sok akrab kepadaku. Sementara itu di belakangnya, Miki yang dia abaikan berekspresi seperti siap menggorok leher Yanda. Dewa, Eka, dan Gaib juga terlihat nggak suka dengan kehadiran Yanda.

“Oh, jadi ini yang namanya Fitznina?” tanya cowok itu. Matanya menilaiku dengan satu alis terangkat. “Tunggu, ngapain lo di sini?”

Fitznina, kalau ada orang yang memanggilku begitu pastilah dia tau aku dari media sosial Mama, atau artikel berita soal putri pasangan Fito Djuananda dan Karenina Eljana. Iya, Mama benar-benar menubrukkan nama Papa dan namanya untuk membuat namaku.

Ngeselinnya setelah puas mengamatiku, cowok itu tiba-tiba ngakak keras banget sambil menunjuk-nunjuk ke arahku.

“Ya ampun, aduh-aduuuh aku hampir lupa kamu kan emang anggota geng sampah ini. Cewek, kok bisa sih lo gabung sama mereka? Lo diiming-imingi apa siiih sampai mau temenan sama mereka?” tanyanya lalu kembali ketawa ngakak.

Aku yang masih emosi ingin sekali menabok atau mungkin menendang motornya yang mulus dan mengkilat itu sampai Yanda jatuh.

Padahal aku masih mau marah-marah ke Miki dan menumpahkan sakit hati. Aku juga masih menginginkan kejelasan kenapa tiba-tiba cowok itu membenciku sampai begini. Apa aku bikin salah separah itu ke Miki? Terus teman-temanku yang lain … di belakang mereka juga membenciku?

Tapi si Yanda ini … ngapain dia nongol-nongol langsung hahahihi ke aku hah?! Ganggu aja!

Namun, kutahan niat jahatku ke cowok ini karena kedatangannya membuat tangisku kembali masuk ke ubun-ubun.

Miki yang berdiri di belakang Yanda sepertinya juga jengkel dengan cowok ini. Sudah dia mau bicara tapi diinterupsi, diabaikan pula.

Miki dengan jengkel berkata, “Ngapain lo malah ngomong sama Fifi, urusan lo sama gue—”

“Diamlah wahai durjana, gue lagi ngomong sama masa depan gue,” ketus Yanda ke Miki dengan jari telunjuk tepat menunjuk ke hidung Miki. Miki yang tersinggung langsung menepis kasar telunjuk Yanda.

Aku? Aku merengut jijik ke Yanda. Meski dalam hati aku bersorak karena ada yang mewakiliku menunjuk balik wajah Miki.

“Kenapa kalian nantang kami? Kami nggak bikin masalah ke anggota kalian,” ketusku ke Yanda.

Yanda kembali mengalihkan perhatiannya padaku. Senyum cerianya malah membuatku ngeri menatap langsung cowok ini. Dia lalu mengelus-elus dagunya yang dicukur bersih.

Cowok itu berkata, “Hmm … lo nggak bikin masalah sih kecuali bikin badan gue panas dingin sekarang, tapi!” Yanda mengacungkan jari telunjuk dengan dramatis. “Gue paling nggak suka ada orang yang ngerebut cewek gue, apalagi orangnya nggak tau diri!”

“Hah? Maksud lo?” tanyaku masih dengan nada ketus.

Yanda menunjuk ke arah Miki dengan gerakan dagu. “Cowok badung itu, ketua geng lo yang bajingan ngerebut pacar gue. Lebih tepatnya, dia jadi selingkuhan pacar gue selama … yaah setahu gue sih satu bulan terakhir ini. Kayaknya alasan gitu cukup buat jadi masalah yang lo maksud, ‘kan?”

Tepat setelah Yanda berbicara, sebuah mobil putih memasuki arena dan berhenti di dekat kami. Pintu pengemudi mobil di buka, dan keluarlah seorang cewek cantik dari dalamnya.

“Nah, itu dia si tukang selingkuh.”

Hello, Fifi!🔞Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang