13

471 36 3
                                    

Beberapa hari setelah kejadian yang memalukan bagi Pratama.

Kini, Pratama sedikit menjauh dari Pradipta, bahkan memberi jarak diantara keduanya.

Yang jelas membuat Pradipta sedikit risih karena Pratama sering sekali menjauh darinya.

Ada beberapa hal Pratama yang sengaja menjauhkan dari Pradipta, pertama. Pradipta sering menggoda Pratama yang membuatnya sedikit trauma.

Kedua, Pratama merasa jika Pradipta sering sekali memperhatikannya dari kejauhan, walaupun itu hanyalah praduga belaka.

Ketiga, Pradipta melarangnya melakukan streaming atau menyapa para penontonnya, katanya. "Demi keamananmu dan tidak ingin ada yang mengorek masuk kedalam ranah privasimu."

Seharusnya Pratama bersyukur karena Pradipta begitu peduli dan menjaganya, tapi tidak perlu overprotektif, juga kan?

Di mana-mana, Pradipta terus berada di sisi Pratama selama dua puluh empat jam.

Bahkan saat Pratama tidur pun, Pradipta ikut tidur di sampingnya sambil memeluknya.

Yang jelas, Pratama takut. Apalagi Pradipta yang melarangnya untuk belajar daring atau sekolah online lagi.

Pradipta juga tidak lagi ke kantor untuk bekerja, melainkan bekerja lewat rumah sembari mengawasi Pratama yang asyik menonton kartun digimon dan pokemon.

. . . . .

"K- kakak, bisakah kakak berhenti menatapku seperti itu?"

Saat ini, Pradipta dan Pratama sedang makan malam di ruang makan.

Pratama sedikit merasa tidak nyaman apabila Pradipta terus menatapnya dengan intens.

"Kenapa? Memangnya masalah jika kakakmu ini menatapmu?" Nada Pradipta juga semakin dingin dan tegas saat Pratama menjauh darinya.

"Apakah kakak marah karena aku menjauh?" Pratama meyakinkan diri, "M- maaf kakak, aku sedikit takut jika berada di sisi seseorang--"

"Oh? Jadi itu alasannya kenapa kau menjauhiku?"

Pratama tersentak dan melihat Pradipta yang berdiri sambil melangkah ke arah Pratama.

Pradipta menjambak rambut Pratama dengan keras dan menyeretnya ke sebuah ruangan.

Pratama terus meronta-ronta kesakitan saat rambutnya ditarik erat-erat, sekaligus mencoba meminta maaf kepada Pradipta.

Namun, Pradipta menulikan telinganya dan terus menyeret tubuh Pratama, bahkan kursi rodanya sudah jauh dari Pratama.

Pradipta langsung melempar tubuh Pratama kedalam ruangan itu dan menguncinya dari luar.

"Kakak! Buka pintunya, hiks .... kak! Hiks .... kak! Kak! Buka pintunya, kumohon, hiks .... "

Dugh! Dugh! Dugh!

Pratama terus menggedor pintu karena trauma akan kegelapan, apalagi Pratama tidak dapat melihat apa-apa.

"Kakak! Buka pintunya! Kakak! Hiks, m- maafkan aku kak, hiks kak!"

Pratama terus berteriak dan memohon kepada Pradipta, tapi Pradipta tidak peduli dan bergegas ke kamarnya sendiri.

Pratama terus memukul pintu hingga tubuhnya sudah tidak kuat lagi, entah kenapa tubuhnya seperti disentuh-sentuh oleh sesuatu.

Katakanlah Pratama paranoid, "Menjauh! Tolong! Hiks, kak! Kumohon! Menjauh lah dariku! Jijik! Hiks, aku jijik!"

Pratama terus mendorong angin, air matanya mulai membasahi wajahnya, bahkan ada yang menggelitik kaki Pratama.

Pratama terus memberontak hingga lelah sendiri dan pingsan karena reaksi takut berlebihan.

Sedangkan di sisi lain. Pradipta menulis sesuatu di bukunya dan menutupnya, tidak lupa menyimpannya di rak buku miliknya.

Pradipta keluar dari kamar dan berjalan menuju ke ruangan, tempat Pratama dihukum.

Pradipta membuka pintunya dan menggendong tubuh Pratama yang gemetaran, matanya sampai bengkak karena menangis berlebihan dan matanya terlihat sembab.

Pradipta menidurkan Pratama di kamar Pratama sendiri.

Tidak lupa mengecup kening Pratama. "Ini hukuman mu karena menjauh dariku, padahal aku hanya melindungimu. Begini kah responmu terhadapku?"

Pradipta pun ikut tidur di samping Pratama, tidak lupa juga untuk memeluknya dan memberikan beberapa kata penenang.

"Tidak apa-apa, jangan takut, aku akan tetap berada di sisimu, selamanya."

Dipta [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang