05

61 7 0
                                    

Mungkin, cinta tidak selalu tentang memiliki, tapi bagaimana kita bisa belajar untuk mengikhlaskan sesuatu yang tidak ditakdirkan untuk kita, kisah pangeran dan putri yang selalu ibu ceritakan selalu berakhir dengan kata tanya. Apakah mereka berdua akan bertemu kembali? Ataukah kisa cintanya hanya akan abadi di dalam dongeng.

Luna bersandar pada sandaran kursi, matanya masih menatap pada layar laptop miliknya. Perlahan pandangannya beralih dari layar laptop pada bulan yang bercahaya terang malam ini.

"Bulan, ceritakan padaku sedikit tentang kisahmu dan matahari. Apakah kalian masih saling menunggu, atau belajar untuk mengikhlaskan?" gumam Luna.

Tok..
Tok..
Tok..

Perlahan pintu kamar terbuka, seorang pria paruh baya memasuki kamar tersebut dengan senyuman ketika melihat putri nya.

"Luna, sedang apa kamu, sayang?" tanya sang ayah kemudian duduk di pinggir ranjang.

"Ayah, Luna cuman lagi nulis."

Ayahnya tersenyum lalu dengan lembut mengusap kepala Luna. "Anak ayah sangat suka menulis yah?"

Mendengar pertanyaan sang ayah Luna hanya mengangguk tidak lupa dengan senyuman manisnya. "Kalau begitu, ayah pasti akan selalu dukung kamu, sayang. Apapun yang anak ayah sukai, ayah pasti akan selalu menjadi orang pertama yang akan mendukung kamu."

"Terima kasih ayah. Luna bersyukur banget punya ayah yang hebat kaya ayah," ucapnya lalu memeluk sang ayah.

Mendapatkan pelukan sang anak membuat ayahnya tersenyum bahagia, ia membalas pelukan putrinya.

"Emang kamu nulis tentang apa?"

"Ini yah, tentang dongen putri sama pangeran."

***

Brak.

Pukulan keras di meja makan membuat suasana malam hari semakin mencekam. Draco hanya menatap ayahnya dengan tatapan dingin.

"Pa, udah. Mami yakin, Draco pasti sudah berusaha–"

"Berusaha apa?! Berusaha membuat saya malu di depan semua orang?! Apa yang anak kamu itu bisa?! Dari dulu tidak ada yang bisa saya banggakan!"

"Papa, udah. Nggak enak marahin anak waktu makan gini," ucap mami Draco.

"HALAH! kamu itu! Selalu aja ngebelain ni anak! Nggak tahu di untung!" bentak papa Draco.

"Berhenti nyalahin mami, pa," ucap Draco.

Lucas terkekeh lalu melipat kedua tangannya dan menatap Draco, "kalau bukan mami kamu, terus siapa lagi yang mau disalahkan disini!" bentak Lucas.

"PAPA NGGAK SADAR! SEMUA YANG TERJADI SAMA AKU ITU SEMUA KESALAHAN PAPA!" teriak Draco.

Plak.

"DIAM KAMU! kurang ajar!"

"Papa cukup!" teriak Chisa lalu menahan suaminya agar tidak kembali memukuli putra nya.

Draco memegang pipinya yang memerah akibat tamparan sang ayah, ini bukan kali pertama ia diperlakukan seperti ini.

"Nilai merosot, perlakuan nggak bener, kerjaannya minim terus sama teman-teman kamu yang nggak jelas itu!"

"Jangan sekali-kali papa bawa-bawa teman aku dalam masalah keluarga kita. Mereka nggak tahu apa-apa tentang ini!"

"Nggak tahu apa-apa kamu bilang?! Karena kamu terlalu bergaul sama orang-orang kaya mereka itu, lihat ini nilai kamu! LIHAT!"

Lucas membuang beberapa kertas dengan nilai bertinta merah pada wajah Draco.

"Malu! Papa itu malu kalau setiap kali rapat selalu saja guru-guru kamu itu membahas tentang nilai kamu yang nggak pernah berubah ini, dan yang paling bikin papa malu waktu mereka ngomong kalau kamu itu anak bandel yang suka ngelawan!"

"Yah papa pikir aja sendiri, papa kan yang selalu nunjukin sikap-sikap kaya gitu sama aku," ucap Draco, ia menggenggam tangan nya dengan erat, seolah-olah siap untuk memukul ayahnya sekarang juga.

"ANAK SIALAN KAMU!"

Prang.

Lucas melemparkan ponselnya dengan kencang. "SUDAH! HENTIKAN!" teriak Chisa.

"Draco, kamu masuk ke kamar kamu sekarang," ucap Chisa.

Dengan kesal, Draco mengambil jaket kulit nya, bukannya masuk ke kamar Draco lebih memilih untuk keluar. Lebih baik keluar dari rumah, jika ia terus berada di dalam rumah ini yang ada dia bisa gila.

***

Pagi ini Luna diantar oleh ayahnya karena sepedanya belum diambil dari bengkel. Sebenarnya itu akal-akalan ayahnya saja agar Luna mau diantar.

"Makasih ya, yah."

"Iya sayang, kamu belajar yang rajin yah, nanti kalau udah pulang kabarin ayah, oke?" ucap ayahnya sambil mengangkat tangannya menunggu sang putri membalas dengan sebuah tosan.

Melihat itu Luna menepukan tangannya pada tangan ayahnya lalu memberikan hormat. "Siap laksanakan komandan," ucap Luna lalu keduanya tertawa. Setelah itu Luna keluar dari mobil, lalu melambaikan tangan pada sang ayah yang mulai pergi.

"Eh Lun, tumben dianterin," ucap Cho yang juga baru tiba.

"Iya ni, bokap gue lupa ngambil sepeda gue dari bengkel."

Mendengar itu, Cho mengangguk. "Ya udah, yuk masuk," ucap Cho lalu merangkul Luna.

Sedangkan disisi lain Draco tengah memperhatikan semua yang terjadi dari mobilnya. Ia juga memperhatikan Luna yang mulai menjauh. "Luna," gumamnya kecil.

Haiii semuanya, sorry yah up nya malam, author ketiduran, lupa upnya hehehe, jangan lupa buat ngasih bintang yang banyak...

Thank youuuu 💙🐍

In Another Body Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang