Azizi membuka mata, terbangun dari tidurnya yang terasa begitu panjang dan melelahkan.
Butuh waktu yang cukup panjang daripada biasanya bagi pria itu untuk menjumuti satu per satu kesadarannya dan membiasakan diri dengan keadaan di dalam kamar yang terasa... begitu berbeda.
Sampai akhirnya Azizi hanya sanggup mengerjapkan mata selama beberapa saat sebelum kemudian beranjak duduk di tepi ranjang.
Lampu tidur di atas nakas rupanya tidak cukup mampu untuk menerangi kamarnya yang mendadak terasa begitu luas setelah kehilangan satu penghuninya, hampir tiga minggu kalau Azizi tidak salah kira. Jadi, dia memutuskan berdiri dari kasur dan menekan saklar untuk menyalakan panel lampu LED di plafon. Cahaya kuning redup yang hangat menyinari ruangan dan ia pun kembali duduk di tepi ranjang.
Pendingin ruangan sudah bekerja keras mengembuskan angin sejuk di malam yang gerah, tetapi tetap, bagi Azizi Asa yang baru mengalami mimpi buruk akibat tingkah lacurnya beberapa pekan lalu, benda itu tak pernah mampu mengusir hawa panas di sekujur badan, membuat kausnya yang sudah sangat tipis itu basah oleh keringat.
Tiga minggu lalu, tepat setelah percintaannya dengan Christy yang penuh gairah usai, perempuan itu memutuskan untuk pergi dari apartemen ini. Katanya, perlu waktu untuk menenangkan diri dan kembali mempertimbangkan apa yang perlu dilakukan setelah ini—mempertahankan pernikahan mereka yang tak diawali oleh cinta sama sekali atau membiarkannya selesai sampai di sini.
Azizi sudah berusaha menahan Christy supaya tidak pergi. Setidaknya, sebelum dia mampu menjelaskan semuanya pada sang istri tentang siapa itu Marshanda Emilia yang disebut namanya saat mereka mencapai titik kulminasi. Namun, Christy tetaplah Christy yang keras kepala dan tidak suka diganggu keputusannya. Dia tetap melenggang pergi dan Azizi tahu tidak ada yang dapat dilakukan selain membiarkan Christy melakukan apa yang ia mau.
Azizi kemudian membuang napasnya dalam-dalam. Dia mendadak merasakan kekosongan yang begitu mendalam saat menyadari kalau kamar ini terasa semakin lengang dan mati dari hari ke hari. Bahkan, tidak hanya kamar, seluruh ruang di apartemennya yang sempit ini seperti tak berpenghuni sejak ditinggalkan oleh Christy.
Tidak ada lagi wangi lembut bunga lily yang sangat khas dengan tubuh Angelina Christy, tidak ada lagi aroma menenangkan dari lilin aroma terapi yang biasanya Christy taruh di beberapa sudut apartemen, tidak ada lagi yang lahap memakan telur ceplok bumbu serai buatannya, dan tidak ada lagi yang menyambut kepulangan Azizi setelah hari-hari yang begitu panjang dan melahkan.
Mengusapkan kedua telapak tangan ke arah wajah, Azizi lantas beranjak berdiri saat merasakan udara di kamarnya semakin tidak nyaman saja. Sambil berjalan menuju kamar mandi, Azizi melepaskan kaus yang dia pakai hingga badannya yang ramping dan berotot tampak sedikit berkilat oleh keringat. Mungkin sedikit mandi atau membasuh tubuh menggunakan handuk basah dapat membuat perasaannya jauh lebih baik pada pukul dua dini hari begini.
Setelah merasa sedikit segar, Azizi sebenarnya ingin berjalan menuju ke lemari pakaian guna mengganti baju. Namun, yang terjadi justru dia memutar langkah ke arah meja di tepi jendela besar kamarnya yang kemarin-kemarin digunakan sebagai meja kerja Angelina Christy.
Meja yang waktu itu penuh dengan bertumpuk-tumpuk buku tebal, baik di atas atau di lacinya, kini sudah kosong. Hanya menyisakan satu vas bunga berisi mawar merah yang kelopaknya telah mengering.
Ini mawar petama yang Azizi berikan kepada Christy saat di Pengadilan Tipikor Kendari dan dia berharap ini bukan mawar terakhir yang dia beri pada sang istri. Semoga Christy mau pulang dan kembali.
Getaran samar di atas kasur membuat Azizi membalikkan badan. Dia berjalan menuju ranjang dan meninggalkan semua lembar nostaljiknya bersama Christy untuk tahu siapa yang mengubunginya pada dini hari begini.