Azizi Banyubiru berdiri dengan ringkih di sebelah gundukan tanah berwarna merah yang pada hari ini telah resmi menjadi rumah baru bagi mendiang sang bunda, mencoba menopang badan sekokoh-kokohnya di tengah kerumunan pelayat yang mengantar kepergian wanita baik hati ini ke rumah terakhirnya—di sebelah Tuhan yang semogalah menjaga Bunda sebaik dia selama ini.
Bunda sudah benar-benar pergi. Raga itu telah resmi dipeluk oleh dekap lembut tanah merah yang tak akan pernah mau melepaskan perempuan itu lagi, selamanya, tanpa peduli seperih apa rindu itu saat menyapa. Meninggalkan mereka semua dengan sebuah cinta yang begitu hebat yang masih dia titipkan kepada Azizi dan semua orang yang tentu belum mampu mengikhlaskan kepergiannya yang tiba-tiba. Berkali-kali Juwita, Tante Azizi sekaligus adik mendiang Bunda, menangis histeris hingga tak segan melemparkan bergepok-gepok uang di hadapan para pelayat agar mereka mampu membuat kakak kesayangannya kembali membuka mata, memukuli siapa saja yang memaksanya berhenti melakukan itu semua. Berkali-kali jatuh pingsan, berkali-kali ditenangkan oleh suaminya, pada akhirnya Juwita menyerah juga. Jatuh terkulai di sebelah nisan berpahatkan nama Elisa Wardhani yang tak akan pernah bisa melemparkan sapa kepada mereka, selama-lamanya.
Hingga pada akhirnya, satu per satu pelayat itu memutuskan pergi setelah rangkaian penuh luka prosesi pemakaman dilaksanakan. Menyisakan Azizi yang pada akhirnya ikut bersimpuh juga. Meraba nisan berbentuk salib yang dibasahi oleh gerimis kecil yang ikut serta mendramatisasi kesedihan seluruh umat manusia, membiarkan titik-titik air mata yang semula ia janjikan tak akan jatuh lagi itu untuk mengaitkan diri di atas nama sang bunda yang ia cinta.
Menurutmu, apa yang lebih menyedihkan dari ini semua?
Tidak ada, sama sekali tidak ada. Azizi berani bersumpah jika serentet perpisahan yang selalu dia alami—dari kematian mendiang ayah sampai Marshanda Emilia—tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan luka-luka yang timbul saat Bunda tiada. Kepergian Bunda membuatnya merasa menjadi manusia paling lemah sedunia. Tidak ada lagi Azizi yang sekuat baja dan besi tempa, tidak ada lagi Azizi yang selalu bisa mengendalikan nestapa yang dia rasa. Semuanya hilang bersama dengan kepergian Bunda.
Azizi semakin menundukkan kepala, melafalkan ayat-ayat-Nya untuk sebuah doa terbaik bagi mendiang sang bunda, membiarkan bahunya semakin naik turun diledakkan sesak, sekali lagi, dia merasa menjadi begitu kecil di hadapan Tuhannya.
"Tuhan, saya titipkan wanita baik hati ini kepada-Mu. Dekaplah ia sebagaimana saya mendekapnya selama ini. Untuk pertama kalinya, saya hanya ingin memohon kepada-Mu."
***
Detik ke menit, menit ke jam, jam bergulir hingga malam datang, dan Christy masih menunggu sebuah kabar kedatangan.
Sejak senja bergulir di kaki langit sebelah barat guna kembali ke peraduan sampai ia benar-benar tenggelam ditelan kabut malam, kedatangan yang Christy nantikan tidak kunjung datang.
Di dalam dadanya itu tersimpan begitu banyak kekhawatiran akibat orang yang ia nanti-nantikan tidak kunjung pulang ke rumah yang masih ramai oleh lalu lalang sanak keluarga, baik itu dari dari garis yang terdekat ataupun bukan. Kekhawatiran itu sudah mendesak dan meminta supaya diizinkan untuk meledak sekarang juga, entah lewat sebuah tindakan atau juga gerutu kerisauan. Yang jelas, bukan hanya gerakan mondar-mandir di teras rumah seperti orang yang tengah menghitung jumlah ubin di lantai atau sekadar menggigiti kuku-kuku jari tangannya sampai nyaris mengeluarkan darah.
Christy ingin menyusul Azizi yang sejak siang tadi tidak kunjung pulang ke rumah, memastikan apakah pria itu benar ada di makam mendiang Bunda, dan membawanya pulang sekarang juga. Namun, sayangnya, Sarah melarang Christy melakukannya. Dia yang baru saja kembali dari rumah sakit menjadi alasan utama sang mama menolak mentah-mentah keinginan Christy dan melawan kekeraskepalaan perempuan itu.
