Seribu kabut menutupi alam pikir yang ia miliki. Pikirannya terkungkung, terbelenggu, dan terkunci pada seribu peristiwa yang berminggu-minggu ini menderanya tanpa ingin berhenti.
Azizi Banyubiru jelas terlihat tak kalah layu dari seikat bunga anyelir yang tadi sempat Aisha taruh di dalam vas kecil berisi air di kediaman mendiang Bunda, beberapa saat sebelum dia tinggal untuk menemui istrinya yang penuh kemalangan. Tangannya gemetar menggenggam secarik kertas yang dia temukan di dalam mobil milik Angelina Christy, yang diam-diam, Azizi curi dari tangan Pak Rudi lewat segala bujuk rayu dan kekeraskepalaan yang dia miliki.
Ada segumul perasaan yang begitu sulit untuk Azizi namai, tetapi demi segala hal yang ia cintai, Azizi menjadi terguncang dan tak lagi mampu berpikir jernih setelah membaca satu demi satu kata yang tertulis di kertas tersebut.
Sebuah dokumen persetujuan aborsi yang di-print out menggunakan kertas berukuran A4 sebanyak dua lembar dan dua rangkap.
Ada nama Angelina Christy yang terpampang jelas di sana dan tempat praktik Klinik Bhakti Medika dengan nama dokter yang menangani dr. Meira Anindya, Sp.OG (K). Selain itu, ada jadwal operasi yang tanggalnya juga tertulis jelas di borang tersebut dan di bawahnya ada tanda tangan persetujuan yang ditandatangani secara sadar oleh Christy.
Azizi tahu, bahkan selalu tahu, bahwa sejak dulu Christy tidak pernah menyukai anak kecil dan terkesan antipati dengan mereka. Berkebalikan dengan dirinya yang begitu senang berangan-angan tentang kehidupan menjadi orang tua, Christy justru menjadikan peran sebagai orang tua sebagai opsi paling terakhir dan paling inferior di dalam kehidupannya. Bahkan, mungkin, justru tak pernah sekali pun menjadi bagian dari pilihan-pilihan yang ingin Christy ambil.
Akan tetapi, pengetahuan itu tak lantas membuat Azizi pernah berpikir bahwa Christy sungguh-sungguh berkeinginan untuk menggugurkan janinnya sendiri, membunuh nyawa paling tidak berdosa setelah mereka berdua hadirkan dalam keadaan sadar dan penuh kesepakatan di dalam rahimnya, dan sungguh-sungguh menganggap bahwa kehadiran anak mereka hanyalah bagian dari ketidaksengajaan yang tidak pernah diinginkan.
Berkali-kali Azizi membuang napasnya, menahan amarah dan rasa sakit yang bergumul di dalam dada. Ada sesuatu yang meremat dadanya dengan sangat kuat dan erat ketika ia lagi-lagi mengeja satu demi satu aksara di atas dokumen persetujuan itu, berharap bahwa apa yang tadi dia baca merupakan sebuah kesalahan karena ketidaktelitian semata. Namun, semakin Azizi berusaha memahami formulir tersebut, semakin jelas pula kenyataan bahwa Christy memang tak pernah menginginkan bayi mereka hidup di dalam dirinya.
Belum selesai Azizi membaca ulang formulir tersebut ketika sebuah suara debaman terdengar di telinga. Membuatnya mengangkat kepala dan seketika, melalui spion tengah mobil, kedua bola matanya beradu dengan milik Angelina Christy, istrinya, yang juga tak kalah terkejut saat tahu bahwa yang duduk di balik kemudi bukanlah Pak Rudi, tetapi Azizi Asa.
Azizi dapat melihat bagaimana Christy tertegun selama sepersekian sekon. Tidak mengeluarkan suara atau gerakan apa pun. Bahkan, napasnya tak terbaca oleh mata Azizi Asa yang kini diliputi selaksa kabut bernama air mata.
Sampai akhirnya Christy terlihat memiringkan badan, berniat membuka pintu belakang mobil dan keluar dari atmosfer yang sama dengan seorang Azizi Asa. Namun, sayang, Christy terlambat. Azizi sudah mengunci mobil itu dari kursi depan. Membuat mereka berdua terjebak di dalam ruang yang sama, yang selama beberapa minggu ini mati-matian Christy hindari.
"Buka atau gue pecahin kaca mobil ini sekarang."
Christy mengultimatum. Tatapannya tajam, meskipun Azizi tidak dapat mengingkari bahwa ia melihat selaksa keletihan di kedua kelopaknya yang sayu betul.
"Pecahin sekarang kalau kamu ngerasa bisa dan mau kita jadi tontonan mahasiswa-mahasiswa kamu."
Christy meluruhkan bahunya. Dia menghempaskan punggung ke arah belakang, menunjukkan ekspresi yang sulit untuk Azizi deskripsikan. Sedangkan lelaki itu, setelah menyadari bahwa Christy tidak sungguh-sungguh ingin memecahkan kaca mobil, segera menarik tuas rem tangan dan melajukan mobil. Meninggalkan pelataran gedung fakultas tempat Christy mengajar dengan rahang yang terkatup rapat. Buku-buku jarinya memutih, mencengkeram roda kemudi dengan segala kekuatan yang ia punya, menginjak gas kuat-kuat.
![](https://img.wattpad.com/cover/353380268-288-k947133.jpg)