Angelina Christy mematut diri di depan cermin rias yang berdiri tegak di dalam kamarnya sambil menahan gemuruh yang terdengar sangat riuh di sebalik dada. Saking riuhnya, Christy berani bertaruh bahwa bunyi pendingin ruangan yang berderu pelan pun tidak mampu menandingi berisiknya degup jantung Christy pada pukul setengah tujuh pagi.
Sambil membuang napas, Christy melirik ke arah pergelangan tangan kiri yang dibebat oleh jam tangan berwarna cokelat terang. Dia tidak ingat sudah selama apa ia berdiri di sini, tetapi Angelina Chrisy berani menjamin bahwa setelah malam di mana ia mengembalikan cincin perkawinannya kepada Azizi Asa dan melengkapi formulir persetujuan mengenai tindakan aborsi, detak jarum jam di dinding-dinding kamar dan di pergelangan tangannya bergerak semakin cepat dan penuh kilat hingga ia tidak lagi dapat menghayati pergantian detiknya menjadi menit, menit menjadi jam, jam menjadi hari, dan hari menjadi minggu.
Sekarang, tahu-tahu, kejadian itu telah genap satu minggu.
Dalam satu minggu berjalan, Christy merasakan banyak sekali gejolak yang berseteru di dalam dadanya. Ada beberapa hal yang menempatkan perempuan itu di dalam badai kebimbangan sampai akhirnya terombang-ambing di atas bahtera keputusan yang tepiannya entah ada di mana; mempertahankan perkawinannya dengan seorang Azizi Asa yang hidupnya dipenuhi oleh kebohongan-kebohongan maha menyakitkan serta ketidakpedulian lelaki itu atas segala hal yang dirasa oleh sang pasangan, melepaskan Azizi Asa dan menganggap bahwa hubungan yang terjalin di antara mereka berdua tak pernah benar-benar ada, mempertahankan kehidupan yang ada di dalam rahimnya atau mengakhiri semua nestapa yang menghantui setiap isi kepala.
Ingin berbohong dengan cara apa pun, Christy tetap tidak akan dapat mengingkari relung terdalam di hatinya bahwa ada secuil bagian di sana yang menginginkannya mempertahankan bayi ini, mempertahankan anaknya, meskipun kemudian dia kembali terbentur oleh keragu-raguan akan dirinya sendiri.
"Non Christy, ada Mbak Muthe yang udah nunggu di luar, Non."
Suara ketukan pintu yang lembut dan pelan disusul oleh suara Aini membuat Christy membuka mata. Kepalanya tertoleh ke arah kanan sebesar sembilan puluh derajat sebagai respons spontan atas panggilan yang menyeru namanya.
"Iya, Mbak. Minta tolong suruh Muthe tunggu sebentar di ruang tamu, ya. Bentar lagi saya turun."
"Baik, Non."
Suara derap langkah pelan samar-samar pergi dari depan pintu kamar sebagai pertanda kepergian Aini ke lantai satu. Meninggalkan Christy yang menarik dan membuang napasnya berat-berat, mematut dirinya sekali lagi di depan cermin.
"Lo udah mikirin ini semua dari lama, Njel. It's okay. Dia cuma fetus dan aborsi enggak akan bikin lo dicap sebagai pembunuh. It's okay."
Begitu bisik Christy pada dirinya sendiri sebelum akhirnya meraih tas jinjingnya dari atas meja rias.
Langkah pelan Christy terayun menuruni satu demi satu anak tangga dari lantai dua menuju lantai satu, di ruang tamu di mana Muthe duduk sambil meremas jari jemarinya sendiri. Ada kegugupan, keprihatinan, dan semua perasaan yang tidak sanggup untuk wanita itu utarakan saat melihat Christy berjalan pelan ke arahnya.
"Udah?"
Christy mengangguk. "Udah. Langsung aja kali ya, The? Gue sama dokter Meira udah janjian jam sepuluh soalnya."
Giliran Muthe yang mengangguk. Mengiyakan ajakan Christy kemudian mempersilakan perempuan itu berjalan lebih dahulu.
Begitu masuk ke dalam mobil, suasana hening langsung menyambut keduanya. Tidak ada suara apa pun yang keluar dari tipis bibir Christy dan Muthe, seolah-olah mereka sengaja membiarkan keheningan dan kebungkaman membungkus perjalan ke klinik tempat Christy akan mengadakan tindakan aborsi pagi ini.